no title.
Saat ini, langit mungkin cerah, sangat cerah, matahari muncul dengan teriknya saat ini. Mungkin kebanyakan orang tengah kepanasan, namun berbeda dengan laki-laki berumur 22 tahun ini.
Ia berdiri dipemakaman kecil yang masih basah, memegang payung hitam menatap gundukan tanah basah tersebut, diam seribu bahasa, berkelahi dengan pikirannya.
Seseorang menepuk pundaknya, “Balik kerumah sakit, Azka nungguin lo.” ia menghela nafas, lalu berbalik. “Gua ga sanggup, biarin gua disini lebih lama.” sahutnya, dengan suara yang terdengar bergetar.
Yang menepuk menghela nafas, “Lo gabisa lama-lama disini, lo disini berharap dia bakal hidup lagi? enggak, Shav. Gabisa, mending lo jelasin ke suami lo sekarang, lo udah ninggalin dia sejak lo tau anak lo meninggal, dan lo ga pikir panjang langsung makamin dia tanpa suami lo tau.” ia menjelaskan panjang lebar, menjelaskan kepada laki-laki yang dipanggil ‘Shav’ tersebut.
Laki-laki itu menghela nafas, lalu mengangguk. “Wish me luck, Fab.” ucapnya, sambil menutup payung yang ia pegang. Fabian memukul bahunya dengan ‘Sedikit kencang’. “Santai elah, kita keluarga, 'kan? meski gua suka emosi dikit sama kelakuan lo. Yaudah, gua pulang dulu. Kasih tau Azka.” selesai dengan kalimatnya, Fabian pergi meninggalkan ia sendirian disana. Ia hanya menatap kepergian punggung Fabian yang semakin mengecil, lalu kembali menatap gundukan tanah yang ada disana.
“Ayah pulang dulu, ya? maaf gabisa nemenin kamu lama-lama disini. Rest in peace, anak ayah.” ucapnya, lalu kemudian berlalu dari sana.
Kaki panjangnya melangkah pelan menuju ruang rawat rumah sakit, takut. Itu yang di rasakan Shavian, ㅡ nama laki-laki itu.
Sekarang ia sudah berada di depan pintu kamar ruang rawat inap yang didalamnya ada sang suami, ㅡAzka. Tangannya terasa berat untuk membuka knop pintu ruangan tersebut.
Akhirnya ia menghela nafas, menguatkan hatinya, sebelum masuk kesana.
ceklek, suara knop pintu dibuka, Shavian melihat Azka yang tengah mendudukkan diri disana sembari memainkan ponsel pintarnya.
Merasa ada orang lain hadir bersamanya, Azka menyingkirkan ponsel pintarnya dari hadapannya, dan menatap seseorang yang baru saja masuk kedalam sana. Ia langsung menaruh ponsel pintarnya di nakas, yang ada diaamping kasurnya.
“Shav?” suara lembut itu memasuki pendengaran Shavian, laki-laki itu masih berdiri didepan pintu sambil memegang knop dengan tangan sedikit bergetar.
Azka menatap Shavian dengan bingung, “Shav? lo ngapain cuman berdiri disitu?” suara itu kembali memasuki pendengaran Shavian, ia menarik nafas lagi, membuat Azka semakin bingung dengan tingkah laku suaminya.
Shavian akhirnya berjalan mendekati kasur Azka, hanya diam berdiri disana tanpa ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya.
Azka menatap Shavian, “Gimana anak kita?” pertanyaan itu, membuat hati Shavian bergetar. Ia hanya diam, tak menjawab, malah menundukkan kepalanya.
Azka mengerutkan alisnya, bingung. “Gimana? sehat kan?” tanyanya, sekali lagi. Namun, Shavian tak menjawab satupun pertanyaan itu, ia masih tetap diam sambil menundukkan kepalanya.
Azka mulai memasang wajah panik, ia memegang tangan Shavian, ”Dia gapapa kan?” terdengar suara kekhawatiran di pertanyaannya kali ini.
Shavian benar-benar hanya diam, bungkam. Mulutnya hanya mengantup, tak berniat membuka mulutnya untuk sekedar menjawab satu pertanyaan dari Azka, tapi tangannya memegang erat tangan Azka.
“Gausah ngeprank, anjing. ga lucu.” Perkataan Azka, membuat Shavian terkejut. “Gua ga ngeprank, enggak ada kamera disini.” sahutnya.
“Terserah lo, tapi jawab pertanyaan gua. Gimana anak kita?”
“kalau lo tau pls diem disini lo belum boleh kemana-mana, janji dulu sama gua?”
“Emang kenapa, sampai lo nyuruh gua disini?”
Shavian kembali menghela nafas, entah berapa kali hari ini ia menghela nafas. “Anak lo... ga selamat.” ucapnya, dengan nada yang sedikit bergetar.
Azka hanya terdiam, lalu ia melepas tangan Shavian, meremat selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, “Oh. gua gagal ya..” Shavian terkejut dengan perkataan Azka.
Ia memegang bahu Azka, “Maksud lo gagal gimana? lo ga gagal.” ucapnya, dengan niat menenangkan.
Azka semakin meremat selimutnya dengan kencang, lalu menatap Shavian dengan mata yang sedikit memerah, ─ ia menahan tangis. “Ga gagal gimana? gua aja gagal ngelahirin anak gua dengan selamat.” sahutnya, dengan suara yang mulai bergetar.
Shavian menggelengkan kepalanya, “Lo ga gagal, takdir gada yang tau, mungkin besok, lo bakal bisa ngelahirin anak lo dengan selamat.”
Azka mengalihkan pandangannya, ke arah yang lain, “Gua aja ga kepikiran buat ngelahirin anak lagi.” jawaban Azka, membuat Shavian terdiam, bungkam. Ia kembali ke posisi semulanya, “Kenapa? kita udah buat planning yang rapi, kenapa?” Azka menggelengkan kepalanya.
“Gua takut. Gua takut kejadian ini keulang lagi.” Sahutnya, tanpa menatap sang lawan bicara.
“Gabakal, lo gaboleh nyerah cuman gara-gara ini. yang lain juga gabakal nyalahin lo semisal mereka ga dapat cucu pertama, ponakan pertama mereka. gua yang gagal disini, gagal jagain lo biar lo ga stress, mikirin hal lain. ini salah gua, jadi lo jangan nyerah, ya?” Azka akhirnya menatap Shavian, “Bakal gua usahain. Tapi, gua gatau kapan gua siap.” sahutnya.
Shavian hanya mengangguk, lalu memeluk Azka. “Gapapa, gua bakal nunggu lo sampai lo siap.” ucapnya, sambil mengelus punggung milik Azka.
Azka ngebales pelukan Shavian, “Iya. Terus, kapan gua boleh pulang?” Shavian ngelepasin pelukan mereka berdua, lalu natap mata Azka. “Gua gatau, tapi nanti gua tanyain gua. Terusㅡ” Shavian menggantung perkataannya, ia menggigit bibir bawahnya.
“Terus apa? ngomong jangan setengah-setengah.”
“Anak kitaㅡ udah dimakamin, maaf.” Perkataan Shavian, lagi-lagi membuat Azka terdiam. “Oh gitu ya... Dia mirip siapa? lo udah liat dia, 'kan?” tampak tak ada kesedihan disana, namun sebenarnya, ia menahan dirinya.
Shavian mengangguk lemah, “Mirip lo. Dia cantik, lucu, gemes. Persis kayak lo. Maaf.” Azka hanya mengangguk, lalu beralih menatap kosong kearah luar jendela. “I wish i could see her.”
“Maaf.. maaf.” Seperti tak ada kata lain yang bisa keluar dari mulutnya, hanya kata maaf yang bisa keluar.
Azka menggelengkan kepalanya, lalu memasang senyum tipis, ㅡ yang terkesan seperti terpaksa. “Gapapa, yang penting ayah dia ikut nguburin dia. Maaf gua gabisa ikut.”
“Bukan salah lo, semuanya salah gua. gua gabisa ngucap kata lain selain maaf, gua ga tega.”
“Ini juga bukan salah lo, Shav. Gada yg bisa disalahin. Iya gua ngerti kok, tapi kalo lu haha hehe sekarang itu yg bakal gua pertanyakan.”
Shavian terkekeh garing, “Gua buat ngomong aja sebenernya gada tenaga, apalagi haha hehe, disangka sinting kali gua habis dapat musibah malah haha hehe. tapi, habis keluar dari rumah sakit, gua temenin ke makam anak kita, ya?”
Azka hanya mengangguk menjawab pernyataan terakhir Shavian, “Iya. Sekarang duduk dulu, tenangin batin.” Shavian ngangguk, ia duduk dipinggiran kasur Azka sambil megang tangan Azka yang masih ngeremat selimutnya.
“Kalau aja gua tadi dibolehin buat setidaknya foto anak kita, gua bakal ngasih liat ke elo kalau dia bener-bener mirip sama lo. Bahkan kayak copy-an lo, lo versi cewek. Tapi, suster ngelarang gua buat buka hp gua.”
Azka cuman bisa gelengin kepalanya, “Enggak papa, Shav. Mungkin rumah sakit punya fotonya, walau ga mungkin, sih.” Shavian ngacak-ngacak rambut Azka. “Ga mungkin.”
Azka tertawa garing, “Iya. Ga mungkin.” Shavian hanya terdiam, lalu berdiri. “Gua pergi dulu, ya? sekalian nanya kapan lo bisa pulang, nanti gua bakal minta tolong siapa buat nemenin lo.”
“Gapapa gua sendirian aja.”
“Gak. Nanti gua suruh yang lain nemenin lo.”
“Iya deh, terserah lo aja. Pergi sana.” Shavian cuman ngangguk, lalu ngecup kening Azka. “Sekali lagi, bukan salah lo, dan lo ga gagal.”
ㅡ end.