Represi.
Contains warning ; Haitani Ran x Mitsuya Takashi , bxb , homo , gay , boy love , suidice , major character dead , strict parent , slight Rankazu , Kokonui , Rinzu , Maisenju , bahasa kasar , tulisan tak beraturan , all chara is legal age.
Read own your risk.
Hidup mapan, mewah, tak membuat hidup nya bahagia. Hanya kehampaan yang di alami oleh nya. Tak sedikitpun ia merasakan titik-titik bahagia dalam hidup nya.
Hanya kehampaan.
Hidup nya yang terkekang bak burung dalam sangkar, membuat nya sangat muak, kesal dan ingin mengakhiri semua nya.
Saat ia sedang berdiri di tepian gedung, berencana untuk menjatuhkan diri nya dari gedung dengan 15 lantai tersebut. Ia menemukan satu kejelasan, untuk kembali tetap menjalani hidup.
Ia bertemu dengan laki-laki bersurai lilac, yang tiba-tiba membuat nya tak jadi menjatuhkan diri kebawah sana.
“Kamu sedang apa?” ia bertanya dengan suara lembut dan menghanyutkan nya, membuat Ran menoleh ke arah belakang nya. Ia menatap Ran dengan tatapan khawatir.
“K-kamu sedang apa?” Tanya nya, sekali lagi. Namun kini mungkin sedikit lebih gugup. “Jangan berdiri disana, nanti jatuh?” ia kembali mengoceh.
Ran hanya diam mendengarkan suara lembut dan menghanyutkan nya, tak menjawab sedikit-pun perkataan sang surai lilac.
“Kamu dengarkan?” Ia bertanya lagi, kali ini dengan harapan bahwa Ran menjawab pertanyaan yang ia lontarkan. Ran hanya memasang senyum tipis, kemudian mengangguk.
Dia lucu. Begitulah pikir Ran.
“Kamu sedang apa?” Pertanyaan yang ia lontarkan pertama kali tadi, kembali ia keluarkan. Seperti nya, rasa penasaran nya belum hilang.
“Kenapa?” Ran angkat bicara, menatap mata nya. Ia hanya menanggapi dengan mengerutkan sebelah alis nya, “Kenapa kamu ingin tahu aku sedang apa?” Ran memperjelas perkataan nya.
Ia mendengus, “Ya karena aku khawatir. Kamu sedang apa di atas sana? berniat bunuh diri? kamu tidak sayang nyawa mu, ya?” Ia menunjuk tepian gedung sambil memasang ekspresi marah.
Ran hanya tersenyum melihat laki-laki di hadapan nya ini memarahi nya. tunggu Ran, Apa ini bisa di sebut memarahi?
“Kamu harus nya sudah tahu jawaban nya, 'kan?” Ran menatap kearahnya dengan tatapan serius, sang lawan hanya termenung lalu menggeleng.
“Aku mana tahu? kita saja baru bertemu malam ini! kamu pikir aku cenayang?” Ran terkekeh pelan, ia menggelengkan kepala nya. “Tidak, tidak. Bukan seperti itu maksud ku, kamu harus nya tahu kan bahwa orang yang ingin bunuh diri itu berarti dia sudah tidak sayang dengan nyawa nya, kenapa kamu bertanya seperti itu lagi?”
Ia termenung tangan nya mengepal erat. Ia juga menggigit bibir bawah nya, menatap lantai yang ia pijak.
“Kamu kenapa?” Ia angkat bicara, Ran mengerutkan alis nya. Ia tak mengerti.
“Kamu kenapa tidak sayang nyawa mu lagi? Kamu harus nya bersyukur sudah dilahirkan kedunia ini, semua masalah hidup bisa di selesaikan pelan-pelan. Bukan kabur dan tak bertanggung jawab atas masalah itu, kamu harus menghadapi nya.” Ia semakin mengepalkan tangannya, semakin erat. Mata nya sedikit berkaca-kaca.
Ran turun dari atas tepian rooftop, ia mendekat kearah laki-laki itu. “Siapa nama mu?” tanya nya, laki-laki itu menatap bingung. “Hah?”
“Siapa nama mu?” ulang Ran.
“Mitsuya.. Mitsuya Takashi.” Jawab nya, Ran mengangguk sambil tersenyum. “Salam kenal, Mitsuya. Aku Haitani Ran.” Setelah selesai memperkenalkan diri, ia berlalu dari Mitsuya.
Ia tak menanggapi perkataan panjang Mitsuya barusan, tapi ia sedikit pendapat pencerahan dalam hidup nya. Hanya 'Sedikit'.
Mitsuya membalikkan badan nya, menatap punggung Ran yang berjalan mulai menjauh dari sana.
“Hei! kenapa langsung pergi?!” Ia berteriak keras, Ran mendengar teriakan itu. Ia hanya tersenyum tanpa membalikkan badan nya, Tak berniat membalas teriakan Mitsuya juga.
“Sialan, Haitani Ran.”
Ran membuka pintu rumah nya dengar kasar, ia mendapati adik nya sedang tertidur pulas di atas sofa dengan wajah yang di tutupi kertas putih yang Ran sudah ketahui bahwa itu adalah berkas-berkas perusahaan keluarga nya.
“Kamu pulang, huh?” Suara wanita tua memasuki pendengaran Ran, segera ia menghadap ke asal suara itu.
“Ya.” Ran hanya menjawab dingin, dengan tatapan yang datar. “Baguslah, siapa yang membuat mu tidak jadi bunuh diri? mantan pacar mu itu? siapa nama nya? Kazutora Hanemiya?” Ran semakin menatap wanita dihadapan nya dengan tatapan dingin.
“Sudah ku bilang jangan bawa-bawa Kazutora, sudah 5 tahun berlalu.”
“Ahahaha. Mengingat nya, dia yang selalu kamu banggakan. Yang kamu bilang, selalu memberikan kamu afeksi dan perhatian, ternyata kamu malah diselingkuhi. Pfftㅡ Malang sekali, anak sulung ku ini.” Wanita ituㅡ Ibu Ran terkekeh pelan, menertawakan nasib sang anak sulung.
”Jangan dibahas.” Ran berlalu dari sana, ia mulai menaiki tangga rumah nya menuju kekamar.
“Kalau bukan dia, siapa?” Sang ibu kembali membuat topik, sangat ingin tahu apa yang membuat sang anak tidak jadi membunuh diri nya sendiri. Ran berhenti di tengah-tengah tangga. Menahan amarah nya dengan cara melampiaskan nya ke pegangan tangga.
“Orang yang memiliki hati, tidak seperti kalian.” Jawab nya, setelah itu ia kembali menaiki tangga hingga memasuki kamar nya.
Sang ibu hanya mendesis pelan.
“Dia harta keluarga Haitani, kata nya. Tapi tidak pernah dibiarkan bebas.” Suara bariton lain, memasuki pendengaran sang Ibu. Ia menatap sang bungsu yang berdiri dihadapan nya sambil menatap datar.
“Kamu diamlah, Rindou.”
“Tidak, aku adik nya. Dan dia benar, aku berhak mendukung pihak yang benar.” Sang ibu memutar bola matanya malas, kemudian berlalu dari Rindou.
“Teruslah mendukung kakak mu yang sangat ingin bebas dari aturan keluarga Haitani sampai kamu mendapat titik terang bahwa mendukung nya bukan hal yang benar, dia salah disini.” Ucap nya, sambil melambaikan tangan kearah Rindou.
“Orang tua sialan.”
Satu minggu setelah ia mencoba melakukan bunuh diri, Ran mulai kembali teringat dengan Mitsuya. Ia baru tahu, kalau Mitsuya adalah desainer yang lumayan terkenal.
Dengan alasan ingin berterimakasih atas kejadian malam itu, Ran mencoba meminta bantuan kepada teman nya yang ternyata mereka semua kenal dengan Mitsuya Takashi.
“Bro? Siapa di geng kita yang ga kenal sama Mitsuya Takashi? Cuman elo!” Ucap laki-laki dengan rambut gondrong yang biasa di sapa Koko itu.
“Lah lo pada kenal dia sejak kapan?” Ran mengerutkan alis nya.
“Bego! Lo tau kan pacar gue si Inupi itu temen deket nya Mitsuya, terus Mikey itu temen kecil nya Mitsuya, terus noh si Baji sama Draken temen nya dari kecil juga. Makanya, ngurung diri terus sih lo!”
“Ya ortu gue strict parent anjing.”
Koko memasang wajah cengengesan, ia tahu bahwa keluarga Haitani sangat melarang anak-anak nya untuk bergaul dengan orang luar, meski mereka bukan orang luar.
“Lo kenal Mitsuya dari mana, Ran?” Draken angkat bicara, ia yang dari tadi hanya sibuk meminum-minuman nya akhirnya mengeluarkan suara.
“Gue ceritain, tapi jangan amuk gue.” Draken hanya mengangguk.
“Ya jadi gini cerita nya..”
Baji menggebrak meja, “Orgil. Sinting, bisa stop buat bunuh diri gak?” Ran menggelengkan kepala nya.
“Ya lo tau kan Ji, keluarga gue tuh ngelarang gue ngelakuin hal yang pengen gue lakuin. Dan gue bisa pacaran sama Kazutora pun itu karena Kazutora anak tunggal kaya raya, The fuck. Keluarga gue matre anjing?” Baji kembali duduk setelah mendengar perkataan Ran, ie memijat pelipis nya pelan.
“Sinting sih, orang tua lo sinting.” Maki Koko, Ran hanya diam. Tak perduli, Koko benar. Orang tua nya sinting.
“Ya menurut gue, Ran. Orang tua lo udah kelewatan batas banget, hal kayak gini malah diwajarin dan terus-terusan dilanjutin. Padahal tindakan mereka itu salah, bahkan mereka sama sekali ga khawatir anak nya bunuh diri. Kayak, lo cuman dijadiin alat (?)” Ran mengangguk, menyetujui perkataan Draken.
“Ya, semua anak Haitani itu cuman alat.” Jawab Ran, ketiga teman nya terdiam. Mereka sudah cukup lama mengenal Ran, dan sudah tahu bagaimana sifat dan sikap keluarga Haitani.
Mereka juga tahu bahwa Ran berulang kali ingin bunuh diri karena ulah keluarga nya, jujur saja mereka ingin membantu, tapi apa yang bisa mereka bantu. Mereka hanya bisa menguatkan Ran dari kekangan keluarga nya.
“Udahlah, kata gue sih lo logout aja.” Baji membuka pembicaraan mereka yang sempat hilang, Koko dan Draken mengerutkan alis nya.
“Konteks logout tuh apa?” Tanya Koko, “Ya keluar dari Haitani lah bego. Masa gitu aja gapaham, paham duit mulu sih lo.” Koko melempar kepala Baji menggunakan kotak rokok yang ada diatas meja.
”Emang salah gue minta kejelasan.”
Setelah mendapat alamat dan nomor telepon milik Mitsuya, saat pulang dari acara 'nongkrong' Ran berniat mendatangi Butik milik Mitsuya.
Ia sekarang berdiri di hadapan butik sederhana, Ran tampak gugup. Tapi, ia mencoba menghela nafas untuk menghilangkan gugup nya.
Ran membuka pintu butik itu, dan mendapati seorang gadis yang ia kenal sedang bersama dengan teman yang ia kenal juga.
“Kak Ran?” Sapa gadis itu, Ran melambaikan tangan nya. “Oh. Halo Senju, Mikey.” balas sapa Ran.
Mitsuya yang dari tadi sibuk berada di tempat jahit, menoleh kearah mereka. Ia mengerutkan alis nya, kemudian memasang wajah terkejut.
“Kamu yang Minggu kemarin kan?” Mitsuya angkat bicara, Senju dan Mikey menoleh kearah Mitsuya. Ran hanya menangguk.
“Minggu kemarin bagaimana?” Tanya Mikey, Mitsuya menggeleng. “Aku bertemu dengan nya di rooftop cafe, Itu saja.” Jawab nya, Mikey hanya mengangguk pelan.
“Yasudah, aku pulang dulu.” Ucap Mikey, Mitsuya mengangguk. “Besok jangan lupa kesini lagi, gaun nya belum selesai diukur!” teriak Mitsuya. Mikey hanya melambaikan tangan sebagai jawaban, Senju juga tapi dengan senyuman yang mengambang di wajah putih nya.
“Kamu kenal Mikey sama Senju?” Mitsuya membuka topik diantara mereka setelah Mikey dan Senju pergi, Ran hanya mengangguk. “Senju calon adik iparku.” jawab Ran.
“Ahh, Adik nya Haruchiyo ya?” Sekali lagi, Ran mengangguk sebagai jawaban nya. “Kamu mau apa kesini?” Tanya Mitsuya, beralih dari tempat duduk nya.
“Berterimakasih.”
“Untuk?”
“Malam itu.”
Mitsuya mengerutkan alis nya, “Kenapa harus berterimakasih?” Tanya nya. Ran menatap bingung Mitsuya, kemudian menggeleng sebagai jawaban.
“Tidak tahu?”
Mitsuya menghela nafas pelan, ia melipat tangan nya di dada. “Aku tidak perlu makasih, kamu tidak jadi bunuh diri saja aku bersyukur. Kamu jangan melakukan hal seperti itu lagi, orang tua mu pasti akan khawatir jika anak nya ditemukan sudah tak bernyawa.” Ran terdiam, kemudian ia menggeleng pelan.
“Tidak,” Mitsuya menatap bingung. “Orang tua ku tidak akan khawatir, ia tak perduli dengan anak-anak nya. Ia hanya perduli pada anaknya yang bagi nya menguntungkan, meski dia bukan harta keluarga itu.” Mitsuya hanya terdiam, ia tak mampu mengeluarkan sepatah kata.
“Ah.. maaf.” Ran hanya menggeleng sambil memasang senyum, “Tak apa.” jawab nya.
“Kamu mau duduk dulu?” Tawar Mitsuya, Ran menggeleng. “Tidak, aku hanya ingin berterima kasih bukan bertamu. Terimakasih tawaran nya, aku permisi ya. Takashi.” Memang terdengar seperti sok akrab, tapi Mitsuya menerima panggilan itu.
“Hati-hati.”
Kali ini, Ran kembali berdiri diatas rooftop cafe yang ia datangi satu bulan lalu. Ia kembali ingin menghilangkan nyawa nya karena ulah keluarga nya.
Saat ingin menjatuhkan diri nya ke bawah ia kembali teringat dengan perkataan Mitsuya, tapi tak ia gubris. Orang tua nya tetap tak perduli.
Ia memang harta keluarga Haitani, di sebut harta karena ia adalah seseorang yang cerdas, sejak kecil selalu di ajarkan untuk menjadi yang pertama, bahkan saking keras nya ajaran yang diberikan ia pernah di cambuk karena tak mengerti apa yang di jelaskan oleh sang ayah.
Ran kecil hanya bisa menerima semua itu dengan menangis, ia sebenarnya sangat rapuh dan tak berkekuatan. Ia tak mampu melawan semua nya, hanya diam merasakan.
Tapi, cahaya selalu datang pada nya sesudah ia di hajar habis-habisan karena orang tua nya. Rindou selalu mendatangi nya dan memeluk Ran sambil menangis, selalu berkata bahwa ia akan melindungi sang kakak dari orang tua sialan itu.
Ran hanya bisa membalas pelukan Rindoh dengan berkata, “Tidak tidak, kamu harus menuruti apa kata mereka. Jangan melawan, ya.” Rindou menggeleng keras, ia masih tetap menangis di dekapan sang Kakak.
Kakak nya hanya bisa menenangkan nya, sambil mengelus-elus rambut Rindou.
Ran sedikit tersenyum, mengingat kenangan masa kecil membuat nya sedikit terhibur. Ia menatap jalanan yang ada di bawah nya, ia kembali teringat dengan Mitsuya yang menasehati nya untuk tidak bunuh diri.
Tapi, Ran itu sudah tidak sayang nyawa nya. Ia Hanya ingin terlepas dari kekangan keluarga Haitani.
Ran terduduk di atas pinggiran gedung, ia tak bisa membuat tragedi karena ia sudah berjanji pada Rindou untuk datang di acara pernikahan nya nanti dengan Sanzu.
“Sialan.” Ran melompat turun dari pinggiran gedung, Berjalan sambil memikirkan dan mengingat-ingat betapa keras nya keluarga Haitani mendidik anak-anak mereka.
Ran berpikir, sampai kapan ia harus menunda-nunda kematian nya. Tak ada guna nya hidup, kalau masih dalam kekangan orang tua. Masih dalam siksaan, membuat hidup nya terpuruk.
Ran memang berbeda dengan Rindou, Rindou masih diperlakukan sewajar nya. Jika Ran, tidak. Sebut saja pilih kasih, tapi kenyataan nya memang begitu.
Ran berjalan keluar dari cafe itu sambil memasang masker dan topi, ia sekarang tak berniat pulang kerumah nya.
Kembali kerumahnya hanya akan membuat emosi nya memuncak, dan ingin membuang nyawa nya saat itu juga.
Di tengah-tengah kerumunan orang yang menyebrangi jalan, ia melihat Mitsuya bersama dua orang gadis dengan surai yang sama seperti Mitsuya.
Sempat berpikir bahwa itu adalah kekasih Mitsuya, tapi tampang Mitsuya tak menunjukkan kalau dia buaya.
Yang buaya mulut nya aja, Kok. 👍
Ran mendatangi Mitsuya yang tengah berjalan bersama dua gadis itu, ia menepuk pundak Mitsuya. Yang di tepuk menoleh kearah belakang, “Ran?”
Ran ber-oh ria dalam diam, padahal ia memakai topi dan masker. Tapi Mitsuya masih mengenali nya, Ran mengangguk sebagai jawaban panggilan Mitsuya.
“Lagi jalan, ya?” Basa basi, yang sangat basi sebenarnya. Tapi mau bagaimana lagi, ini adalah satu cara untuk membuka topik.
Mitsuya mengangguk sebagai jawaban, “Oh kenalin. Ini Luna, dia Mana. Dua-duanya adik aku(?)” Jelas Mitsuya, Ran mengangguk.
Ia mengusak pucuk kepala Luna, Mana. “Haitani Ran.” Ucap nya, sambil tersenyum. Meski senyuman nya di tutupi oleh masker.
“Habis dari mana?” Tanya Mitsuya, Ran menoleh kearah laki-laki itu. “Gedung.” Jawab Ran, singkat, padat, dan jelas.
Mitsuya menghela nafas panjang, “Mau bunuh diri lagi?” Tanya nya, Ran hanya mengangguk sebagai jawaban. “Kalau tidak kuat kabur saja. Bukan menghilangkan nyawa.” Lagi dan lagi, ia di nasehati oleh Mitsuya.
Ran hanya berdiam diri, tak menjawab kalimat yang di lontarkan oleh Mitsuya. ia berpikie sekuat apapun dia kabur, dia pasti akan kembali lagi kedalam sangkar itu, karena itu dia lebih memilih untuk menghilangkan nyawa nya saja.
“Halo? kenapa diem?” Mitsuya melambai-lambai kan tangan nya di hadapan Ran, Ran tersadar dari lamunan nya, kemudian menggeleng pelan. “Oh, enggak. Kalian lanjut aja,” Ucap nya, sedikit linglung.
“Enggak mau bareng? kebetulan mau nyari makan.” Ran tertegun, ia teringat kalau ia tak makan dari tadi pagi. Perut nya memang sudah perih sedari tadi.
“Boleh?” Mitsuya mengangguk sebagai jawaban nya, “Boleh. Why not?”
Mereka sudah selesai makan, dan sekarang sedang berjalan pulang. Ran tak berniat pulang, jujur saja.
“Pulang?” Tanya Mitsuya, Ran menoleh kearah sang surai lilac. “Bohong, gapapa 'kan?” batin nya.
Ran mengangguk atas pertanyaan Mitsuya, ”Oh yaudah. Hati-hati, Ran.” Mitsuya melambaikan tangan nye ke arah Ran, mulai masuk ke dalam kereta sambil tersenyum ke arah nya.
Ran hanya membalas lambaian itu kala Mitsuya sudah masuk ke dalam Kereta, Ia berbalik badan lalu kembali memasang masker dan topi nya.
Ran mengeluarkan ponsel pintar nya, mencari nama “Koko” di kontak panggilan. Setelah menemukan nya, ia segera menelepon kawan sejawat nya itu.
“Oitt, kenapa Ran?”
“Rumah lo ada siapa aja?”
“Gada, mau nginep sini?”
“Yoo, males pulang.”
“Yaudah kesini ae, atau perlu gue jemput?”
“Thanks, gue jalan kaki aja.”
“Gila, semangat. Yaudah hati-hati bro.”
Setelah Koko berkata seperti itu, Ran mematikan ponsel nya. Lagi dan lagi, ia harus bermalam di rumah kawan nya itu.
Ada banyak alasan untuk ia tak pulang ke rumah nya, salah satu nya ; bosan mendengar hinaan sang ibu untuk nya.
Ibu nya selalu mengungkit-ungkit masa lalu, dan masalah hubungan yang pernah ia jalin dengan Hanemiya Kazutora.
Ran sudah sampai di rumah Koko, ia sekarang tengah berbaring di kamar yang selalu ia pakai saat menginap di rumah kawan sejawat nya itu.
Ia menatap langit-langit kamar itu, memikirkan apa yang harus ia lakukan. Satu minggu lagi adik nya akan menikah, tapi saat ini ia malah sibuk menjadi gembel.
Berjalan kesana-kemari seperti tak punya tujuan dan tak punya rumah, padahal ia hidup di rumah yang megah dan mewah.
Meski itu mengekang hidup nya.
Ran menghela nafas panjang, ia mendudukkan diri nya dan memijat pelipisnya.
Kini ia telah memantapkan hati nya.
Ran segera keluar dari kamar tamu milik keluarga Kokonoi, ia langsung masuk ke kamar sang kawan. Tak perduli semisal sang kawan sudah tidur atau belum, yang jelas ia hanya ingin berkata kalau ia akan pulang.
Bersyukurlah Ran, karena Koko terlelap diatas kasur nya. Ia masih sibuk dengan laptop dan berkas-berkas yang berhamburan di atas meja kerja nya.
“Kenapa Ran?” Koko menatap Ran yang tiba-tiba masuk ke kamar nya, “Gue balik.” Koko mengerutkan alis nya, tak paham.
“Hah?”
“Gue bilang, gue balik.”
“Okay, bawa mobil gue satu. Gue gamau lo jalan lagi.” Koko mengambil satu kunci mobil di laci meja nya, memberikan kepada Ran.
Ran menerima kunci itu, “Besok gue balikin.” Ia keluar dari kamar Koko. Koko hanya berdiam diri, ia tak paham dengan kawan sejawat nya itu.
Ini adalah hari dimana semua orang tunggu-tunggu, kecuali Ran.
Ia memang memasang senyum, tapi itu hanya senyum paksa.
Hari ini adalah hari pernikahan sang adik, ia memang turut senang atas pernikahan adik nya. Tapi juga bimbang di saat yang bersamaan, meski minggu lalu ia sudah memantapkan diri.
Tapi ia kembali meyakinkan diri nya, bahwa memang itu jalan yang paling baik ; harus ia tempuh, karena sudah lelah dengan kehidupan nya yang penuh dengan siksaan batin, maupun fisik.
Ran hanya berdiri dari jarak jauh, menatap pernikahan sang adik yang sangat megah dan meriah. Tak berniat mendekat kesana, karena ia sangat problematik di keluarga nya.
Ran melihat beberapa teman nya sedang berjalan ke arah nya berdiri ; sambil melambai-lambaikan tangannya.
“Yo bro, kenapa disini aja?” Baji membuka topik di antara mereka, Ran menggeleng sambil menaruh gelas yang tadi ia pegang.
“Males aja.” sahut nya, Baji hanya mengangguk ; mengerti apa yang di maksud dengan 'malas' nya Ran.
“Oh ji, gue minta tolong, boleh?” Ran membuka kembali topik pembicaraan mereka yang sempat hening. Baji menatap Ran kemudian mengangguk.
Ran mengambil sesuatu dari dalam saku jasnya, ia mengeluarkan surat dan memberikan nya kepada Baji. “Titip, kasihin Mitsuya ya.” Baji mengerutkan alis nya ; tak paham.
“Kenapa ga kasihin sendiri aja?” Ran menggeleng, “Titip aja. Thanks ji.” Ran berjalan menjauh dari sekumpulan teman-teman nya.
Semua menatap satu sama lain ; bingung atas sifat Ran, tapi tak mereka gubris. Mungkin ia sedang lelah begitulah pikir mereka.
Ran berjalan pergi menjauh dari acara pernikahan sang adik, bahkan meninggalkan gedung nya. Adik nya sudah bahagia, mungkin ini saat nya ia pergi? mungkin.
I said once again, mungkin.
Ran terduduk diatas bangku taman sambil memijat pelipis nya, masih ada sedikit keraguan dalam diri nya. Tapi, tak ia gubris. Keputusan nya sudah bulat, tak perdulk lagi dengan keraguan nya.
Keraguan hanya penganggu.
2 hari setelah nya, Ran tak kembali kerumah nya. Rindou khawatir dengan keadaan sang kakak, dan mencoba mencari dimana keberadaan nya.
Namun, semua nya nihil. Ia tak menemukan dimana sang kakak berada, tak menemukan titik titik jejak keberadaan sang Kakak. Sampai Kokonoi menelpon nya, memberikan kabar buruk, mengenaskan, dan lain sebagai nya.
“Kakak lo udah gada.”
“he killed himself.”
“Your brother's body, I found it in the river. Tell your family, even though your family. I don't care about him anymore, but he must be buried.”
Tanpa sepatah kata, Rindou langsung pergi. Tak perduli ketika Sanzu berteriak-teriak memanggil nama nya. Yang sekarang ia pikirkan, adalah sang kakak.
Rindou menatap mayat yang memucat di hadapan nya, wajah yang sangat mirip dengan sang empu. Air mata nya tak bisa keluar, sudah terlalu tersakiti.
“Memang orang tua sialan, brengsek, bajingan!” Rindou mengumpat, mengatai sang orang tua, tak perduli lagi jika ia akan di cap sebagai anak durhaka. Ia tak perduli, kakak nya adalah salah satu sebagian hal yang terpenting dalam hidup nya.
Kakak nya selalu mendukung nya, meski ia tak sedang kesakitan.
“Koko, tolong bantu pemakaman kakak gue. Gue yakin dua tua bangka itu ga akan perduli, kasih tau orang terdekat aja, ya?” Rindou menatap Koko dengan serius, sang lawan hanya mengangguk.
“I see. gue siapin dulu.”
“Thanks.”
“Yoo.”
Mitsuya menatap gundukan tanah dengan nama ‘Haitani Ran’ di hadapan nya dengan wajah yang tak bisa di artikan, mata nya yang biasa nya selalu ada secercah cahaya, kini tak ada.
Perasaan bingung mengelabui Mitsuya, ia sangat marah, kesal, sedih. Padahal Ran hanyalah seorang yang baru saja ia kenal selama hampir 3 bulan (?)
Tapi, ia sudah sangat marah akan hal ini.
Mitsuya tak mengerti perasaan nya, Mitsuya juga tak mengerti perasaan Ran. Saat Mitsuya terjatuh dalam pikiran nya, Koko menepuk pelan bahu sang surai lilac.
Mitsuya menoleh kearah Koko, dan laki-laki dengan rambut seperti jambul ayam (?) itu memberikan amplop yang sudah basah.
“Gue nemuin ini di cashing handphone Ran, maybe buat lo.” Mitsuya mengambil amplop surat basah itu, kemudiam mengangguk. “Thanks.”
“No Problem, gue pulang duluan. Jangan kelamaan disini, mau hujan.” Mitsuya hanya mengangguk.
Kemudian ia berjongkok di samping makam Ran, membuka amplop basah tersebut.
kemudian setelah selesai dengan bacaan nya, Mitsuya rasa nya ingin menendang-nendang makam milik sang penulis surat.
“Sialan.”
“Ran Haitani sialan.”
– Fin
Semua trauma, kepedihan, kesedihan, itu karena ulah orang yang di sayangi. Mereka mencoba peduli, tapi orang itu tak pernah menatap afeksi mereka, dan hanya menatap afeksi nya; saat di butuhkan. Begitulah yang di rasakan Ran Haitani, tokoh utama di cerita ini.