Tentang.


Amerta duduk dihadapan kedua orangtuanya, beserta dengan sang kakak yang juga ada disana, yang hanya menunduk. Laki-laki cantik itu hanya menatap mereka bertiga bingung.

Amerta mencoba memberanikan diri bertanya, “Ini ada apa ya?” tanyanya, dengan suara yang kecil; namun bisa terdengar.

Sang Ayah menatap Amerta, “Putus.” Amerta semakin kikuk, “Iya?”

“Putus, Angkasa.” Sang ibu mengulangi perkataan sang ayah, “Maksudnya... sama Aksa..?” pertanyaannya, mendapat anggukan dari sang ayah dan sang ibu.

“Ya. Tidak ada hubungan sejenis diantara keluarga kita, dan kamu bakal mama sama papa pindahkan ke Aussie. Tinggal sama Tantemu disana, sama Azka juga. Masalah kuliahmu, kamu lanjut disana. Tidak ada penolakan, jika kamu tidak memutuskan hubunganmu dengan Aksara, kamu akan tahu akibatnya, Angkasa.” Tegas sang ayah, air wajah Amerta tak bisa dibaca. Ia kaget, sedih, bingung, semuanya tercampur jadi satu diwajah cantiknya.

Ia berpikir, kenapa tiba-tiba..? Setelah hubungan nya dan Aksa sudah berumur 2tahun, kenapa baru sekarang ia dilarang berhubungan? aneh.

“Tapi kenapa...?”

“Tapi kenapa kamu tanya? coba kamu pikirkan! hubunganmu dengan Aksara tidak akan menghasilkan keturunan!” jawab sang Ibu, yang membuat Amerta sedikit sesak, sakit.

“Tapi kita bisa mengadopsi anak, 'kan?” Amerta itu tak mengenal takut, ia akan terus menjawab semuanya selagi ia mampu.

“Keluarga kita butuh anak yang sedarah daging, bukan hasil dari panti asuhan atau memungut dijalanan,” Sakit, perkataan orangtuanya sangat sakit. Amerta benar-benar ingin menangis sekarang.

“Tapi.. saat aku bersama kak Chakra, Mama dan papa tidak melarang!” sudah tidak tertahankan lagi, air matanya jatuh. Tak sengaja membawa-bawa Chakra kedalam perkelahian mereka.

“Karena kalian masih SMA! tidak mungkin berpikir untuk kejenjang yang lebih serius. Sekarang kamu sudah kuliah, Aksara juga. Papa yakin tidak menutup kemungkinan kalian sudah membahas masa depan yang hanya omong kosong belaka, 'kan? kalau kamu lupa, keluarga dari ayah itu homophobia. kamu jangan mempermalukan keluarga. Tinggal ikuti perintah, gampang, 'kan?”

Amerta menggeleng keras, mengusap air matanya yang terus-menerus keluar. “Tidak! kalian berdua egois!”

Amerta meninggalkan ruang keluarga mereka, berlari kelantai dua, kekamarnya. Saat dikamar, ia mendapati ada 3 koper yang saat ia buka ternyata sudah terisi baju dan beberapa barang berharganya.

Orang tuanya ternyata memang seniat itu.


Chandra yang mendengar perdebatan adik dan orangtuanya hanya terdiam, saat sang adik memasuki kamarnya, ia berinisiatif untuk mendatanginya.

“Aku yang jelasin,” Ucap Chandra, lemah. Orangtuanya mengangguk setuju, tapi sebelum itu, Langkah Chandra tertahan karena ucapan sang Ayah.

“Kamu juga, putuskan hubunganmu dengan Revasha. Atau tidak kamu ikut Angkasa ke Aussie,” Chandra menghela nafas panjang, sesak. Tapi, ia hanya menjawab dengan anggukan.

“Bagus, 2 bulan lagi kamu bakal dijodohin sama temen mama. Sebelum itu, kamu harus sudah putus dengannya.” Chandra lagi-lagi hanya mengangguk, lalu melanjutkan langkahnya menuju kamar sang adik.

Orangtua mereka, benar-benar egois. Mementingkan perasaan mereka sendiri, dari pada perasaan anak-anak mereka.

Padahal, Chandra sangat menyetujui perkataan Amerta. Bahwa jika mereka tidak bisa membuat keturunan, mereka bisa mengadopsi anak yang ada di Panti Asuhan. Karena mereka juga butuh orang tua.

Sungguh, egois.

Sebelum mengetuk pintu kamar Amerta, Chandra menghela nafas panjang. “Amerta.” panggil Chandra, dari luar Chandra dapat mendengar bahwa sang adik saat ini tengah menangis.

Tak ada jawaban dari dalam, tak ada suara langkah juga yang terdengar dari dalam, Chandra langsung membuka pintu kamar tersebut sambil mengucapkan kata, ‘maaf’

Baru saja membuka pintu, Chandra sudah disuguhkan pemandangan ada 3 koper yang sudah teracak, ia yakin orang tuanyalah yang menyiapkan koper-koper yang sudah terisi itu.

“Amerta..”