saraga’s


Athayya dan Jeri mendudukkan dirinya di sofa yang ada di apart milik Athayya, mereka merasa cukup lelah karena baru saja selesai membereskan barang milik Athayya yang akan berlibur keluar negeri untuk beberapa waktu, selama libur semester tentunya.

Athayya membaca semua reply yang ada di twitternya, melirik Jeri yang memasang wajah masam. “Mau sampai kapan?” Athayya bersuara, membuat yang disamping menoleh.

“Apanya yang sampai kapan?” Jeri memasang wajah bingung, temannya benar-benar no konteks. “Lo, ngarepin Janu. Maksud gua, iya gapapa berharap. Cuman, dia deketnya sama adting, Jer.” ujaran Athayya membuat air wajah Jari semakin masam.

“Tapi, adting deketnya sama yang lain.”

Athayya menghela nafas berat, temannya benar-benar bebal. Tidak mendengarkannya, berulang kali mengulangi hal sama, tidak jera.

“Jeri, dengerin gua. Mau dia deket sama yang lain, tapi mereka emang paling deketnya sama Janu. Jeri, mending berhenti sebelum jatuh terlalu dalam.” Jeri menunduk, memainkan jari-jari tangannya. “Lo gatau, Athayya..”

Athayya menghela nafas lagi, mereka sama-sama terdiam, tak bersuara lagi.

Tak lama kemudian, suara bel yang ditekan berulang, tidak sabaran, terdengar. Memecahkan keheningan keduanya, “Pasti Janu, gua buka bentar.” Athayya berjalan meninggalkan Jeri sendirian, membukakan pintu untuk laki-laki yang baru saja mereka bicarakan.

“Lama banget lo.” omel Athayya saat membuka pintu apartnya, Janu hanya cengengesan sambil memberikan dua bungkus plastik besar kepada Athayya, “Ini apaan?”

“Makanan, buat lo berdua. Dimakan.” Athayya mengangguk, lalu berjalan masuk berdahulu, “Tutup pintunya.” Perintahnya pada Janu.

Janu hanya menghela nafas, dasar.


Rishaki menekan bel pintu apartment milik Juna dengan tidak santai, membuat sang pemilik berdecak kesal. Dia juga dengar, kok.

Juna membuka pintu apartment miliknya, dan mendapati Rishaki tengah berdiri disana sambil memasang cengiran khas miliknya.

“Mau langsung pergi?” tawar Rishaki, tanpa basa-basi panjang. Juna hanya mengangguk, ia masuk sebentar kedalam bilik apartment-nya dan kembali dengan membawa tas.

“Yaudah ayo.” ajak Juna, yang telah mengunci pintu apartment miliknya. Rishaki hanya mengangguk, menuruti. Membiarkan yang lebih tua berjalan lebih dahulu di hadapannya.

“Kenapa coba tiba-tiba ngajak night drive gini, biasanya juga sibuk main sama kakakmu itu.” Juna mengomel padanya didepan sana, Rishaki hanya diam. Tak menjawab perkataan yang lebih tua.

Juna memberhentikan langkahnya, menghadap kearah Rishaki yang berada dibelakangnya. “Jawab!” ucapnya, tidak santai.

“Ya emang gaboleh aku ngajak jalan pacarku sendiri? lagian siklus hidup kak Heli juga ga cuman main game doang. Gimanapun juga, kan dia udah punya kak Satya sama Kia yang harus dibiayain.” jawab Rishaki, sambil berjalan mendahului Juna yang masih membeku ditempatnya mendengar jawaban yang lebih muda.

Rishaki berhenti berjalan, menengok kebelakang. “Kenapa diem? ayo jalan.” Juna terbuyar, ia mengangguk dan melanjutkan langkah kakinya.


Di dalam mobil, Rishaki menyalakan salah satu lagu dari One Direction.

What makes you beautiful – One Direction.

Juna hanya terdiam, membiarkan pacarnya yang lebih muda memutar musik sesukanya. Asal bukan yang membuat telinganya bermasalah, Juna membiarkan semuanya.

Suasana perjalanan mereka hening, sibuk tenggelam dalam pikiran masing-masing. Seperti tak ada dari merekapun yang mau membuka topik di dalam perjalanan tak jelas mereka.

Rishaki mematikan musik yang tadinya menyala, Juna melirik kearah yang lebih muda. “Kenapa dimatiin?” tanyanya.

Rishaki hanya menjawab dengan gelengan, “Adek mau ngomong. Nanti ga kedengaran.” sahutnya, Juna hanya menanggapi dengan anggukan.

Mereka masih terus melewati lampu-lampu pinggir jalan, Rishaki akhirnya menghela nafas panjang.

“Maaf ya,” suara Rishaki reflek membuat Juna menoleh. “Aku jarang ngabarin kakak, aku bukan bener-bener sibuk sama dunia ku buat sekedar main game sama kak Heli. Aku cuman bingung.”

Juna hanya terdiam, membiarkan yang lebih muda menyelesaikan kalimat-kalimatnya.

“Aku bingung harus bersikap kayak gimana, bukan berarti aku ga sayang sama kakak. of course, aku sayang banget. Aku juga udah dari april lalu selalu gantung kakak, padahal kakak selalu nungguin hal itu. Aku orang yang gampang buat nyerah, mungkin, kalau jadi kakak. Aku udah berhenti buat nungguin, tapi kakak sampai sekarang masih nungguin adek. Tetap ngasih apa yang adek mau. Tetap jadi tempat dimana adek bisa dapat pelukan.”

Rishaki meminggirkan mobilnya, memarkir pada pinggir jalan yang sekarang ia tak tahu betul dimana ia membawa sang kasih.

“Adek tau, adek udah nyakitin kakak terlalu lama gara-gara adek selalu bikin kakak nunggu lagi dan lagi. Kak, kalau capek, please stop and tell me. Kakak terlalu lama nungguin adek. Aku baru lulus kuliah 2 tahun lagi, Aku gapantes buat kakak. Aku masih terlalu kekanakan.” Rishaki hanya mental lurus kearah luar mobilnya, tak berniat menatap sang ‘kakak’ yang terduduk disebelahnya.

“Udah ngomongnya?” Juna membenarkan posisi duduk, Rishaki hanya menjawab anggukan tanpa membalik wajah sedikitpun.

“Dek, dengerin ya. Mau kamu suruh kakak buat nungguin adek 20 tahun lagi, kakak bakal tetep nungguin adek. Mau seberapa banyak orang yang lebih dari adek, kalau kakak cuman sayang adek, kakak gabakal lari ke mereka.”

“Kakak memang sering ngerasa digantung sama kamu, tapi tiap kamu nemuin kakak. Rasanya semua perasaan digantung itu hilang.”

Juna melepas seatbelt-nya, memeluk Rishaki dari samping.

“Kakak cuman sayang kamu, catat di otakmu yang ¼ itu.”

Rishaki hanya diam, membalas pelukan yang lebih tua. Mengecup pucuk kepala Juna, “Iya. Aku juga, anyway, aku ngajak kakak night drive. special, because this is our mensiversarry.”

“Oh iya? ku pikir adek lupa.”

“I will never forget.”


fin

Alarm berbunyi, membangunkan seorang laki-laki yang masih bergulung dengan selimut. Ia segera bangkit dari tempat pulau kapuknya, mematikan alarm yang masih berbunyi.

Waktu di alarm menunjukkan pukul 07.24 pagi, di bawah sudah terdengar ribut-ribut suara keluarganya yang sedang beradu sendok. Ia tak berniat ikut bersama mereka, tapi ia beranjak dari kasurnya menuju kamar mandi sambil membawa baju yang akan ia pakai untuk pergi ketempatnya berkerja.

Keluar dari kamar mandi, ia merapikan rambutnya yang sedikit basah, lalu mengecek ponsel pintarnya sesaat, dan kembali menyimpannya.

Ia keluar kamar sambil membawa tas yang berisi dompet dan ponsel pintarnya, ia berdiri di depan tangga, menatap keluarganya yang masih berduduk disana, sambil sesekali bercanda.

Matanya beralih, menatap gadis kecil yang mungkin berumur sekitar 10 tahun itu. Lalu membuang mukanya, dan menuruni tangga dengan wajah tanpa melirik kearah meja makan sedikitpun.

“Shav, gamakan dulu?” suara berat yang dikenalinya itu membuat yang dipanggil menoleh, Shavian, ㅡ namanya. Mengerutkan alis menatap laki-laki yang bernotabene sebagai adiknya.

“Gamakan dulu?” ulangnya, karena merasa tak mendapat jawaban dari sang lawan bicara. “Enggak. Saya bilang, saya ga akan pernah sarapan lagi, 'kan?” sahutnya, dengan nada yang sedikit dingin.

Sang lawan bicara memutar bola matanya malas, “Sampai kapan lo kayak gini? perkara Azkia doang lo berubah kayak gini. Ga kayak lo yang dulu.” ia menatap Shavian dengan sinis, Shavian hanya memasang senyum yang lebih mirip seringai.

“Lo tau semuanya, Liam. Lo tau, lo juga ada disana. Kenapa lo nanya segala? udah cukup tiap hari lo ngajak gua berantem hal gak jelas gara-gara Azkia doang.” sahutan Shavian membuat satu orang lagi menggebrak meja, kakak keduanya.

“Terima kehadiran dia, apa susahnya, Shavian?” Shavian hanya menjawab dengan gelengan, “Gua ga kuat. Coba lo ada di posisi gua, Bian. Lo bakal kuat natap muka anak lo yang persis sama muka suami lo yang meninggal gara-gara lebih merjuangin anaknya? LO BAKAL KUAT GUA TANYA?” di akhir, ia sedikit berteriak. Membuat gadis yang tengah dibicarakan matanya mulai berkaca-kaca.

“Tapi, gua gabakal larut, Shavian. DIA ANAK LO, Anak lo, lo udah dewasa, 'kan? berapa umur lo sekarang Shavian? 32tahun? Tua. Yang kekanakan sifat lo.” Bian, ㅡ Fabian, sang kakak. mengacak rambutnya frustasi.

“Lo semua udah, jangan berantem, anjing. Udah tua juga, biarin aja Shavian, Azkia denger perkataan lo semua. Tolong hargai dia, anjing.” Ayana yang sendari tadi hanya diam sambil mengelus-elus pundak Azkia yang terduduk dimeja makan, akhirnya membuka suaranya. Geram, itu yang dirasakannya.

Setiap pagi, kejadian sama terus berulang, Liam, Fabian dan Shavian selalu bertengkar.

“Shav, pergi aja lo ketempat kerja lo sana. Udah mau jam 9, lo bakal telat.” Daniel, yang tertua memerintah. Shavian yang mendengar perkataan sang paling tua, mengangguk. Berlalu dari hadapan Fabian dan Liam yang bungkam sambil mengepalkan tangannya.


Ia baru kembali kerumah pada pukul 10 malam, wajahnya tampak kusut, rambutnya sesekali ia acak, karena merasa panas.

Saat hendak memasuki kamarnya, ia melihat pintu kamarnya terbuka sedikit. Ia mengerutkan alisnya bingung, tak ada yang berani masuk pergi kedalam kamarnya setelah suaminya pergi.

Ia memasuki kamar itu, dan melihat Azkia tengah terduduk diatas kasurnya sambil memegang satu kotak kecil. Alisnya semakin ia kerutkan, “Ngapain disini?” suara dingin Shavian membuat gadis kecil itu terkejut.

“Ayah udah pulang? s – selamat datang!” ucapnya, dengan nada yang sedikit gugup. “Ngapain disini, saya tanya?” ulangnya, tak memperdulikan pertanyaan/pernyataan (?) Azkia.

“Eum.. itu.. Azkia mau minta maaf sama ayah, soal kejadian tadi pagi, dan aku bakal minta uncle Bian sama uncle Liam buat ga berantem lagi sama ayah. Ini, buat ayah! Tadi aunty yang nyuruh aku ngasih ini buat ayah. Semoga ayah suka ya!” Azkia memegang tangan dingin milik Shavian, menaruh kotak kecil yang ia pegang, lalu tersenyum kecil.

“Aku pergi tidur dulu ya, ayah jangan begadang, nanti sakit!” Dia berlalu dari hadapan Shavian, dengan berlari kecil. Shavian masih membeku disana, tak mengerti apa situasi yang sedang terjadi.

Ia menggelengkan kepalanya, menyadarkan diri. Lalu menaruh kotak kecil itu disamping nakas tempat tidurnya, dan pergi menuju kamar mandi.

Selesai membersihkan diri, ia baru saja ingin merebahkan dirinya, namun kembali teringat dengan kotak kecil yang diberikan Azkia.

Shavian membuka ikatan kotak itu, sedikit terkejut dengan isi kotaknya, hanya ada beberapa permen kapas dan satu kertas kecil disana.

Oh, Ayolah. Shavian bukan anak kecil yang suka memakan permen kapas. Lupakan tentang hal ini.

Shavian membuka kertas kecil tersebut, disana terlihat tulisan anak-anak yang acak tak beraturan, namun masih tetap berjajar dengan baris yang ada di kertas.

Ayah! Azkia minta maaf sama ayah, maaf udah bikin ayah berantem terus sama uncle Bian sama uncle Liam. Azkia ga pengen kalian terus-terusan berantem gara-gara Azkia, jadi Azkia minta ke aunty Aya buat bantuin Azkia bikinin ini ke ayah, uncle Bian, sama uncle Liam! Sebenernya Azkia pengen banget ke makam papa sama ayah. Tapi, ayah gapernah mau, ya iya sih hehe, soalnya Azkia yang rebut papa dari ayah. Maaf ya ayah, Azkia egois. Azkia pengen bisa deket sama ayah, kata tetangga deket sama orang tua itu seru. Tapi, Azkia gabisa deket, tapi gapapa. Ayah udah mau ngomong sama Azkia aja, Azkia udah seneng bangett! Kapan-kapan jalan sama Azkia, ya? Azkia sayang ayah!

Shavian menutup kertas itu, ia hanya terdiam, merasa bersalah. Ia sudah terlalu jahatkah untuk ini? ia hanya tidak bisa menerima kehadiran Azkia, bukan hanya karena Azkia yang benar-benar mirip dengan Azka. Tapi, karena Azka menyuruhnya untuk lebih memilih menyelamatkan Azkia daripada dirinya sendiri.

Shavian merebahkan dirinya asal di atas kasurnya, menutup matanya dengan tangannya. “Iya. ayo jalan-jalan sama ayah.”


Shavian saat ini sedang duduk bersama dengan Ayana di taman belakang rumah keluarga mereka, hening, hanya ditemani semilir angin yang meniup helai-helai rambut mereka.

“Besok minggu, 'kan?” Shavian, membuka pembicaraan mereka terlebih dahulu. Ayana mengangguk sebagai jawabannya, “Kenapa?” tanyanya.

Shavian menggeleng, “Besok gua boleh pinjem Azkia?” Ayana bangkit dari duduknya, “Hah? gimana? mau ngapain? mau lo taruh di panti, Shav? ENGGAK ANJING.” Shavian menggeleng, lagi.

“Gua mau ngajak dia jalan-jalan, ketempat itu.” sahut Shavian, dengan suara sedikit serak. Ayana kembali mendudukkan dirinya di samping Shavian. “Lo kayak gini gara-gara surat Azkia 4 hari yang lalu?” Shavian mengangguk.

“Pergi aja, tapi jangan sampai ketahuan Bian sama Liam, besok gua bakal ada belanja bulanan sama mama, gua bakal ajak Azkia. Lo jemput aja dia di supermarket nanti. Tapi, kalau tujuan lo buat naroh dia di panti, gua gorok lo.”

Shavian hanya mengangguk sambil menundukkan kepalanya, “Thanks, Aya.”

“My Pleasure.”


“Aunty, mam, kenapa kita belum masuk?” Azkia menatap Aya yang seperti melihat kanan kiri, menunggu seseorang.

“Tunggu ya, nanti Azkia masuk ke mobil yang datang, mau jalan sama ayah, 'kan?” tanya Aya, menyamakan tingginya dengan Azkia.

Gadis kecil itu mengangguk antusias, “Maauu!!”

Ayana tersenyum kecil, “Nah yaudah. Tunggu ya.” Azkia hanya mengangguk, merasa senang dengan situasi.

Tak lama, mobil abu yang sangat Azkia kenali, berhenti didepan mereka. Pintu sebelah kirinya dibuka oleh Aya, lalu menggendong Azkia untuk masuk kedalam sana.

“Gua bakal pulang jam 10 pagi, lo harus kembaliin dia disini, gua bakal telpon kalau gua mau pulang.” Aya berucap sambil memakaikan tali pengaman pada Azkia. Shavian hanya mengangguk.

“Jangan ngebut, lo bukan mau balapan. Lo bawa anak kecil.” Aya kembali berujar sebelum menutup pintu mobil tersebut, Shavian lagi-lagi hanya menanggapi dengan mengangguk.

“Gua pergi dulu.”

“Hati-hati.”


Mereka sudah sampai di tempat tujuan, Shavian saat ini tengah menggenggam tangan Azkia, takut gadis itu hilang diantara kerumunan.

“Ayah, sekarang kita dimana?” Azkia bertanya, di tangannya yang tak dipegang oleh Shavian memegang gula kapas besar yang dibelikan oleh Shavian.

“Ditempat yang seru.” Shavian menarik pelan tangan Azkia, mengajak gadis itu berjalan. “Okei!”

Shavian mengajak Azkia ketepian sungai besar yang ada disana, Azkia hanya terdiam, merasa terpukau dengan pemandangan disana.

Sedangkan Shavian terdiam, mengingat beberapa hal yang pernah terjadi disana.

Azkia menoleh kearah sang Ayah, “Ayah? kenapa?” Shavian hanya melirik, lalu menggeleng pelan. “Enggak papa.”

Azkia hanya mengangguk, “Ayah ayo lebih deket!” ia menarik tangan Shavian, yang ditarik hanya mengangguk, pasrah dan mengikuti Azkia.

Setelah lebih dekat, Azkia melepas pegangan tangannya. Lalu berlari kecil melihat air sungai dengan antusiasnya.

Shavian hanya menatap sambil melipatkan tangannya di dada, bayang-bayang masa lalu yang pernah terjadi disini mulai terputar.

Bahkan, bisa membayangkan bahwa Azkia tengah bermain disana bersama Azka. Shavian hanya menggelengkan kepalanya, menghilangkan halusinasi yang tampak nyata itu.

Azkia menarik-narik baju milik Shavian, “Ayah kenapa?” tanyanya, Shavian menoleh, lalu menggeleng pelan. Shavian menyamakan tingginya dengan Azkia, lalu menarik gadis kecil itu kedalam dekapannya.

“Ayah minta maaf, ayah ga benci kamu, ayah cuman belum bisa nerima kenyataan. kamu gaperlu minta maaf sampai bikin surat kayak gitu buat Ayah, Bian sama Liam.” pelukan Shavian dibalas oleh tangan kecil itu.

“Ayah gaperlu minta maaf, Azkia yang salah disini. Azkia udah rebut papa dari ayah, maafin Azkia.” Shavian mengelus surai panjang milik Azkia, “Bukan, ini bukan salah kamu. Salah ayah, maafin ayah. Ayah bakal nyoba buat nerima kehadiran kamu.”

Azkia menutup wajahnya dibahu lebar milik Shavian, ia mengangguk. “Maaf ya, ayah.”

ㅡ end.

no reason

Alarm berbunyi, membangunkan seorang laki-laki yang masih bergulung dengan selimut. Ia segera bangkit dari tempat pulau kapuknya, mematikan alarm yang masih berbunyi.

Waktu di alarm menunjukkan pukul 07.24 pagi, di bawah sudah terdengar ribut-ribut suara keluarganya yang sedang beradu sendok. Ia tak berniat ikut bersama mereka, tapi ia beranjak dari kasurnya menuju kamar mandi sambil membawa baju yang akan ia pakai untuk pergi ketempatnya berkerja.

Keluar dari kamar mandi, ia merapikan rambutnya yang sedikit basah, lalu mengecek ponsel pintarnya sesaat, dan kembali menyimpannya.

Ia keluar kamar sambil membawa tas yang berisi dompet dan ponsel pintarnya, ia berdiri di depan tangga, menatap keluarganya yang masih berduduk disana, sambil sesekali bercanda.

Matanya beralih, menatap gadis kecil yang mungkin berumur sekitar 10 tahun itu. Lalu membuang mukanya, dan menuruni tangga dengan wajah tanpa melirik kearah meja makan sedikitpun.

“Shav, gamakan dulu?” suara berat yang dikenalinya itu membuat yang dipanggil menoleh, Shavian, ㅡ namanya. Mengerutkan alis menatap laki-laki yang bernotabene sebagai adiknya.

“Gamakan dulu?” ulangnya, karena merasa tak mendapat jawaban dari sang lawan bicara. “Enggak. Saya bilang, saya ga akan pernah sarapan lagi, 'kan?” sahutnya, dengan nada yang sedikit dingin.

Sang lawan bicara memutar bola matanya malas, “Sampai kapan lo kayak gini? perkara Azkia doang lo berubah kayak gini. Ga kayak lo yang dulu.” ia menatap Shavian dengan sinis, Shavian hanya memasang senyum yang lebih mirip seringai.

“Lo tau semuanya, Liam. Lo tau, lo juga ada disana. Kenapa lo nanya segala? udah cukup tiap hari lo ngajak gua berantem hal gak jelas gara-gara Azkia doang.” sahutan Shavian membuat satu orang lagi menggebrak meja, kakak keduanya.

“Terima kehadiran dia, apa susahnya, Shavian?” Shavian hanya menjawab dengan gelengan, “Gua ga kuat. Coba lo ada di posisi gua, Bian. Lo bakal kuat natap muka anak lo yang persis sama muka suami lo yang meninggal gara-gara lebih merjuangin anaknya? LO BAKAL KUAT GUA TANYA?” di akhir, ia sedikit berteriak. Membuat gadis yang tengah dibicarakan matanya mulai berkaca-kaca.

“Tapi, gua gabakal larut, Shavian. DIA ANAK LO, Anak lo, lo udah dewasa, 'kan? berapa umur lo sekarang Shavian? 32tahun? Tua. Yang kekanakan sifat lo.” Bian, ㅡ Fabian, sang kakak. mengacak rambutnya frustasi.

“Lo semua udah, jangan berantem, anjing. Udah tua juga, biarin aja Shavian, Azkia denger perkataan lo semua. Tolong hargai dia, anjing.” Ayana yang sendari tadi hanya diam sambil mengelus-elus pundak Azkia yang terduduk dimeja makan, akhirnya membuka suaranya. Geram, itu yang dirasakannya.

Setiap pagi, kejadian sama terus berulang, Liam, Fabian dan Shavian selalu bertengkar.

“Shav, pergi aja lo ketempat kerja lo sana. Udah mau jam 9, lo bakal telat.” Daniel, yang tertua memerintah. Shavian yang mendengar perkataan sang paling tua, mengangguk. Berlalu dari hadapan Fabian dan Liam yang bungkam sambil mengepalkan tangannya.


Ia baru kembali kerumah pada pukul 10 malam, wajahnya tampak kusut, rambutnya sesekali ia acak, karena merasa panas.

Saat hendak memasuki kamarnya, ia melihat pintu kamarnya terbuka sedikit. Ia mengerutkan alisnya bingung, tak ada yang berani masuk pergi kedalam kamarnya setelah suaminya pergi.

Ia memasuki kamar itu, dan melihat Azkia tengah terduduk diatas kasurnya sambil memegang satu kotak kecil. Alisnya semakin ia kerutkan, “Ngapain disini?” suara dingin Shavian membuat gadis kecil itu terkejut.

“Ayah udah pulang? s – selamat datang!” ucapnya, dengan nada yang sedikit gugup. “Ngapain disini, saya tanya?” ulangnya, tak memperdulikan pertanyaan/pernyataan (?) Azkia.

“Eum.. itu.. Azkia mau minta maaf sama ayah, soal kejadian tadi pagi, dan aku bakal minta uncle Bian sama uncle Liam buat ga berantem lagi sama ayah. Ini, buat ayah! Tadi aunty yang nyuruh aku ngasih ini buat ayah. Semoga ayah suka ya!” Azkia memegang tangan dingin milik Shavian, menaruh kotak kecil yang ia pegang, lalu tersenyum kecil.

“Aku pergi tidur dulu ya, ayah jangan begadang, nanti sakit!” Dia berlalu dari hadapan Shavian, dengan berlari kecil. Shavian masih membeku disana, tak mengerti apa situasi yang sedang terjadi.

Ia menggelengkan kepalanya, menyadarkan diri. Lalu menaruh kotak kecil itu disamping nakas tempat tidurnya, dan pergi menuju kamar mandi.

Selesai membersihkan diri, ia baru saja ingin merebahkan dirinya, namun kembali teringat dengan kotak kecil yang diberikan Azkia.

Shavian membuka ikatan kotak itu, sedikit terkejut dengan isi kotaknya, hanya ada beberapa permen kapas dan satu kertas kecil disana.

Oh, Ayolah. Shavian bukan anak kecil yang suka memakan permen kapas. Lupakan tentang hal ini.

Shavian membuka kertas kecil tersebut, disana terlihat tulisan anak-anak yang acak tak beraturan, namun masih tetap berjajar dengan baris yang ada di kertas.

Ayah! Azkia minta maaf sama ayah, maaf udah bikin ayah berantem terus sama uncle Bian sama uncle Liam. Azkia ga pengen kalian terus-terusan berantem gara-gara Azkia, jadi Azkia minta ke aunty Aya buat bantuin Azkia bikinin ini ke ayah, uncle Bian, sama uncle Liam! Sebenernya Azkia pengen banget ke makam papa sama ayah. Tapi, ayah gapernah mau, ya iya sih hehe, soalnya Azkia yang rebut papa dari ayah. Maaf ya ayah, Azkia egois. Azkia pengen bisa deket sama ayah, kata tetangga deket sama orang tua itu seru. Tapi, Azkia gabisa deket, tapi gapapa. Ayah udah mau ngomong sama Azkia aja, Azkia udah seneng bangett! Kapan-kapan jalan sama Azkia, ya? Azkia sayang ayah!

Shavian menutup kertas itu, ia hanya terdiam, merasa bersalah. Ia sudah terlalu jahatkah untuk ini? ia hanya tidak bisa menerima kehadiran Azkia, bukan hanya karena Azkia yang benar-benar mirip dengan Azka. Tapi, karena Azka menyuruhnya untuk lebih memilih menyelamatkan Azkia daripada dirinya sendiri.

Shavian merebahkan dirinya asal di atas kasurnya, menutup matanya dengan tangannya. “Iya. ayo jalan-jalan sama ayah.”


Shavian saat ini sedang duduk bersama dengan Ayana di taman belakang rumah keluarga mereka, hening, hanya ditemani semilir angin yang meniup helai-helai rambut mereka.

“Besok minggu, 'kan?” Shavian, membuka pembicaraan mereka terlebih dahulu. Ayana mengangguk sebagai jawabannya, “Kenapa?” tanyanya.

Shavian menggeleng, “Besok gua boleh pinjem Azkia?” Ayana bangkit dari duduknya, “Hah? gimana? mau ngapain? mau lo taruh di panti, Shav? ENGGAK ANJING.” Shavian menggeleng, lagi.

“Gua mau ngajak dia jalan-jalan, ketempat itu.” sahut Shavian, dengan suara sedikit serak. Ayana kembali mendudukkan dirinya di samping Shavian. “Lo kayak gini gara-gara surat Azkia 4 hari yang lalu?” Shavian mengangguk.

“Pergi aja, tapi jangan sampai ketahuan Bian sama Liam, besok gua bakal ada belanja bulanan sama mama, gua bakal ajak Azkia. Lo jemput aja dia di supermarket nanti. Tapi, kalau tujuan lo buat naroh dia di panti, gua gorok lo.”

Shavian hanya mengangguk sambil menundukkan kepalanya, “Thanks, Aya.”

“My Pleasure.”


“Aunty, mam, kenapa kita belum masuk?” Azkia menatap Aya yang seperti melihat kanan kiri, menunggu seseorang.

“Tunggu ya, nanti Azkia masuk ke mobil yang datang, mau jalan sama ayah, 'kan?” tanya Aya, menyamakan tingginya dengan Azkia.

Gadis kecil itu mengangguk antusias, “Maauu!!”

Ayana tersenyum kecil, “Nah yaudah. Tunggu ya.” Azkia hanya mengangguk, merasa senang dengan situasi.

Tak lama, mobil abu yang sangat Azkia kenali, berhenti didepan mereka. Pintu sebelah kirinya dibuka oleh Aya, lalu menggendong Azkia untuk masuk kedalam sana.

“Gua bakal pulang jam 10 pagi, lo harus kembaliin dia disini, gua bakal telpon kalau gua mau pulang.” Aya berucap sambil memakaikan tali pengaman pada Azkia. Shavian hanya mengangguk.

“Jangan ngebut, lo bukan mau balapan. Lo bawa anak kecil.” Aya kembali berujar sebelum menutup pintu mobil tersebut, Shavian lagi-lagi hanya menanggapi dengan mengangguk.

“Gua pergi dulu.”

“Hati-hati.”


Mereka sudah sampai di tempat tujuan, Shavian saat ini tengah menggenggam tangan Azkia, takut gadis itu hilang diantara kerumunan.

“Ayah, sekarang kita dimana?” Azkia bertanya, di tangannya yang tak dipegang oleh Shavian memegang gula kapas besar yang dibelikan oleh Shavian.

“Ditempat yang seru.” Shavian menarik pelan tangan Azkia, mengajak gadis itu berjalan. “Okei!”

Shavian mengajak Azkia ketepian sungai besar yang ada disana, Azkia hanya terdiam, merasa terpukau dengan pemandangan disana.

Sedangkan Shavian terdiam, mengingat beberapa hal yang pernah terjadi disana.

Azkia menoleh kearah sang Ayah, “Ayah? kenapa?” Shavian hanya melirik, lalu menggeleng pelan. “Enggak papa.”

Azkia hanya mengangguk, “Ayah ayo lebih deket!” ia menarik tangan Shavian, yang ditarik hanya mengangguk, pasrah dan mengikuti Azkia.

Setelah lebih dekat, Azkia melepas pegangan tangannya. Lalu berlari kecil melihat air sungai dengan antusiasnya.

Shavian hanya menatap sambil melipatkan tangannya di dada, bayang-bayang masa lalu yang pernah terjadi disini mulai terputar.

Bahkan, bisa membayangkan bahwa Azkia tengah bermain disana bersama Azka. Shavian hanya menggelengkan kepalanya, menghilangkan halusinasi yang tampak nyata itu.

Azkia menarik-narik baju milik Shavian, “Ayah kenapa?” tanyanya, Shavian menoleh, lalu menggeleng pelan. Shavian menyamakan tingginya dengan Azkia, lalu menarik gadis kecil itu kedalam dekapannya.

“Ayah minta maaf, ayah ga benci kamu, ayah cuman belum bisa nerima kenyataan. kamu gaperlu minta maaf sampai bikin surat kayak gitu buat Ayah, Bian sama Liam.” pelukan Shavian dibalas oleh tangan kecil itu.

“Ayah gaperlu minta maaf, Azkia yang salah disini. Azkia udah rebut papa dari ayah, maafin Azkia.” Shavian mengelus surai panjang milik Azkia, “Bukan, ini bukan salah kamu. Salah ayah, maafin ayah. Ayah bakal nyoba buat nerima kehadiran kamu.”

Azkia menutup wajahnya dibahu lebar milik Shavian, ia mengangguk. “Maaf ya, ayah.”

ㅡ end

Saat ini, langit mungkin cerah, sangat cerah, matahari muncul dengan teriknya saat ini. Mungkin kebanyakan orang tengah kepanasan, namun berbeda dengan laki-laki berumur 22 tahun ini.

Ia berdiri dipemakaman kecil yang masih basah, memegang payung hitam menatap gundukan tanah basah tersebut, diam seribu bahasa, berkelahi dengan pikirannya.

Seseorang menepuk pundaknya, “Balik kerumah sakit, Azka nungguin lo.” ia menghela nafas, lalu berbalik. “Gua ga sanggup, biarin gua disini lebih lama.” sahutnya, dengan suara yang terdengar bergetar.

Yang menepuk menghela nafas, “Lo gabisa lama-lama disini, lo disini berharap dia bakal hidup lagi? enggak, Shav. Gabisa, mending lo jelasin ke suami lo sekarang, lo udah ninggalin dia sejak lo tau anak lo meninggal, dan lo ga pikir panjang langsung makamin dia tanpa suami lo tau.” ia menjelaskan panjang lebar, menjelaskan kepada laki-laki yang dipanggil ‘Shav’ tersebut.

Laki-laki itu menghela nafas, lalu mengangguk. “Wish me luck, Fab.” ucapnya, sambil menutup payung yang ia pegang. Fabian memukul bahunya dengan ‘Sedikit kencang’. “Santai elah, kita keluarga, 'kan? meski gua suka emosi dikit sama kelakuan lo. Yaudah, gua pulang dulu. Kasih tau Azka.” selesai dengan kalimatnya, Fabian pergi meninggalkan ia sendirian disana. Ia hanya menatap kepergian punggung Fabian yang semakin mengecil, lalu kembali menatap gundukan tanah yang ada disana.

“Ayah pulang dulu, ya? maaf gabisa nemenin kamu lama-lama disini. Rest in peace, anak ayah.” ucapnya, lalu kemudian berlalu dari sana.


Kaki panjangnya melangkah pelan menuju ruang rawat rumah sakit, takut. Itu yang di rasakan Shavian, ㅡ nama laki-laki itu.

Sekarang ia sudah berada di depan pintu kamar ruang rawat inap yang didalamnya ada sang suami, ㅡAzka. Tangannya terasa berat untuk membuka knop pintu ruangan tersebut.

Akhirnya ia menghela nafas, menguatkan hatinya, sebelum masuk kesana.

ceklek, suara knop pintu dibuka, Shavian melihat Azka yang tengah mendudukkan diri disana sembari memainkan ponsel pintarnya.

Merasa ada orang lain hadir bersamanya, Azka menyingkirkan ponsel pintarnya dari hadapannya, dan menatap seseorang yang baru saja masuk kedalam sana. Ia langsung menaruh ponsel pintarnya di nakas, yang ada diaamping kasurnya.

“Shav?” suara lembut itu memasuki pendengaran Shavian, laki-laki itu masih berdiri didepan pintu sambil memegang knop dengan tangan sedikit bergetar.

Azka menatap Shavian dengan bingung, “Shav? lo ngapain cuman berdiri disitu?” suara itu kembali memasuki pendengaran Shavian, ia menarik nafas lagi, membuat Azka semakin bingung dengan tingkah laku suaminya.

Shavian akhirnya berjalan mendekati kasur Azka, hanya diam berdiri disana tanpa ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya.

Azka menatap Shavian, “Gimana anak kita?” pertanyaan itu, membuat hati Shavian bergetar. Ia hanya diam, tak menjawab, malah menundukkan kepalanya.

Azka mengerutkan alisnya, bingung. “Gimana? sehat kan?” tanyanya, sekali lagi. Namun, Shavian tak menjawab satupun pertanyaan itu, ia masih tetap diam sambil menundukkan kepalanya.

Azka mulai memasang wajah panik, ia memegang tangan Shavian, ”Dia gapapa kan?” terdengar suara kekhawatiran di pertanyaannya kali ini.

Shavian benar-benar hanya diam, bungkam. Mulutnya hanya mengantup, tak berniat membuka mulutnya untuk sekedar menjawab satu pertanyaan dari Azka, tapi tangannya memegang erat tangan Azka.

“Gausah ngeprank, anjing. ga lucu.” Perkataan Azka, membuat Shavian terkejut. “Gua ga ngeprank, enggak ada kamera disini.” sahutnya.

“Terserah lo, tapi jawab pertanyaan gua. Gimana anak kita?”

“kalau lo tau pls diem disini lo belum boleh kemana-mana, janji dulu sama gua?”

“Emang kenapa, sampai lo nyuruh gua disini?”

Shavian kembali menghela nafas, entah berapa kali hari ini ia menghela nafas. “Anak lo... ga selamat.” ucapnya, dengan nada yang sedikit bergetar.

Azka hanya terdiam, lalu ia melepas tangan Shavian, meremat selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, “Oh. gua gagal ya..” Shavian terkejut dengan perkataan Azka.

Ia memegang bahu Azka, “Maksud lo gagal gimana? lo ga gagal.” ucapnya, dengan niat menenangkan.

Azka semakin meremat selimutnya dengan kencang, lalu menatap Shavian dengan mata yang sedikit memerah, ─ ia menahan tangis. “Ga gagal gimana? gua aja gagal ngelahirin anak gua dengan selamat.” sahutnya, dengan suara yang mulai bergetar.

Shavian menggelengkan kepalanya, “Lo ga gagal, takdir gada yang tau, mungkin besok, lo bakal bisa ngelahirin anak lo dengan selamat.”

Azka mengalihkan pandangannya, ke arah yang lain, “Gua aja ga kepikiran buat ngelahirin anak lagi.” jawaban Azka, membuat Shavian terdiam, bungkam. Ia kembali ke posisi semulanya, “Kenapa? kita udah buat planning yang rapi, kenapa?” Azka menggelengkan kepalanya.

“Gua takut. Gua takut kejadian ini keulang lagi.” Sahutnya, tanpa menatap sang lawan bicara.

“Gabakal, lo gaboleh nyerah cuman gara-gara ini. yang lain juga gabakal nyalahin lo semisal mereka ga dapat cucu pertama, ponakan pertama mereka. gua yang gagal disini, gagal jagain lo biar lo ga stress, mikirin hal lain. ini salah gua, jadi lo jangan nyerah, ya?” Azka akhirnya menatap Shavian, “Bakal gua usahain. Tapi, gua gatau kapan gua siap.” sahutnya.

Shavian hanya mengangguk, lalu memeluk Azka. “Gapapa, gua bakal nunggu lo sampai lo siap.” ucapnya, sambil mengelus punggung milik Azka.

Azka ngebales pelukan Shavian, “Iya. Terus, kapan gua boleh pulang?” Shavian ngelepasin pelukan mereka berdua, lalu natap mata Azka. “Gua gatau, tapi nanti gua tanyain gua. Terusㅡ” Shavian menggantung perkataannya, ia menggigit bibir bawahnya.

“Terus apa? ngomong jangan setengah-setengah.”

“Anak kitaㅡ udah dimakamin, maaf.” Perkataan Shavian, lagi-lagi membuat Azka terdiam. “Oh gitu ya... Dia mirip siapa? lo udah liat dia, 'kan?” tampak tak ada kesedihan disana, namun sebenarnya, ia menahan dirinya.

Shavian mengangguk lemah, “Mirip lo. Dia cantik, lucu, gemes. Persis kayak lo. Maaf.” Azka hanya mengangguk, lalu beralih menatap kosong kearah luar jendela. “I wish i could see her.”

“Maaf.. maaf.” Seperti tak ada kata lain yang bisa keluar dari mulutnya, hanya kata maaf yang bisa keluar.

Azka menggelengkan kepalanya, lalu memasang senyum tipis, ㅡ yang terkesan seperti terpaksa. “Gapapa, yang penting ayah dia ikut nguburin dia. Maaf gua gabisa ikut.”

“Bukan salah lo, semuanya salah gua. gua gabisa ngucap kata lain selain maaf, gua ga tega.”

“Ini juga bukan salah lo, Shav. Gada yg bisa disalahin. Iya gua ngerti kok, tapi kalo lu haha hehe sekarang itu yg bakal gua pertanyakan.”

Shavian terkekeh garing, “Gua buat ngomong aja sebenernya gada tenaga, apalagi haha hehe, disangka sinting kali gua habis dapat musibah malah haha hehe. tapi, habis keluar dari rumah sakit, gua temenin ke makam anak kita, ya?”

Azka hanya mengangguk menjawab pernyataan terakhir Shavian, “Iya. Sekarang duduk dulu, tenangin batin.” Shavian ngangguk, ia duduk dipinggiran kasur Azka sambil megang tangan Azka yang masih ngeremat selimutnya.

“Kalau aja gua tadi dibolehin buat setidaknya foto anak kita, gua bakal ngasih liat ke elo kalau dia bener-bener mirip sama lo. Bahkan kayak copy-an lo, lo versi cewek. Tapi, suster ngelarang gua buat buka hp gua.”

Azka cuman bisa gelengin kepalanya, “Enggak papa, Shav. Mungkin rumah sakit punya fotonya, walau ga mungkin, sih.” Shavian ngacak-ngacak rambut Azka. “Ga mungkin.”

Azka tertawa garing, “Iya. Ga mungkin.” Shavian hanya terdiam, lalu berdiri. “Gua pergi dulu, ya? sekalian nanya kapan lo bisa pulang, nanti gua bakal minta tolong siapa buat nemenin lo.”

“Gapapa gua sendirian aja.”

“Gak. Nanti gua suruh yang lain nemenin lo.”

“Iya deh, terserah lo aja. Pergi sana.” Shavian cuman ngangguk, lalu ngecup kening Azka. “Sekali lagi, bukan salah lo, dan lo ga gagal.”

ㅡ end.


Rava memencet bell apartment milik Satya, disebelahnya berdiri laki-laki jakung yang orang-orang kenali sebagai Surya, tapi Rava memanggilnya, Sun.

Pintu apartement terbuka, menampilkan Satya dengan hoodie kebesaran miliknya, membuat Rava gemas, tapi ia menahan diri. “Masuk Rava, Surya.” kedua-nya mengangguk, mereka masuk kedalam apartemen yang dibeli Satya.

Mereka bertiga duduk di ruang tengah apartemen Satya, hanya keheningan yang ada diantara mereka. Rava menghela nafas panjang. Mungkin, Satya akan marah, atau mungkin malah memutuskan pertemanan dengannya. Pikiran negatif sudah memenuhi otaknya.

Ia tak bisa lagi berpikir jernih untuk menjelaskan semua-nya, Rava mengutuk orang yang menjodohkannya dengan pasangan teman dekatnya.

“Ekhem.”

Rava berdeham, membuat Satya dan Surya menoleh kearah gadis bermarga Abimana tersebut. “Mau minum enggak? gua bikinin.” Satya bertanya, menatap Rava dan Surya bergantian.

Rava menggeleng, “Enggak usah...” sahutnya, Satya hanya mengangguk mengerti. “Lo mau cerita apa, Rava?”

Deg.

Seperti itulah jantung Rava, seperti tiba-tiba diserang oleh sesuatu. “Gua udah nyiapin semuanya dari satu tahun lalu, semoga gua bisa.” ucapnya, dalam hati.

Rava menghela nafas berat, membuat Satya bingung. “Mau minum dulu enggak?” tawar Satya, lagi. Rava lagi-lagi menggeleng, kemudian kembali mendapat anggukan dari Satya.

“Satya, jangan marah. Dengerin penjelasan gua dari awal, ya?” Rava berucap ragu, Satya menatapnya bingung, namun, akhirnya ia memberikan anggukan atas pernyataan Rava.

“Gua seminggu lagi nikah sama Hesa...” Rava berucap pelan, hampir tidak terdengar, “Ya?” Satya menanggapi.

“Gua seminggu lagi nikah sama Hesa, BUT... PLEASE DENGERIN DULU???” Rava tiba-tiba bersuara tinggi, air wajah Satya tak bisa di artikan. Tapi, ia tetap mengangguk menanggapi perkataan Rava.

“Satu tahun lalu, mama gua bilang, gua bakal dijodohin sama Hesa. Gua udah nolak, tapi dia tetep maksa. Sampai, hari itu gua diajak kerumah Hesa, tapi Hesa enggak tau. Disitu gua ga sengaja bongkar kalau lo sama Hesa pacaran. Gua kebawa emosi, maaf. Terus bulan-bulan selanjutnya gua selalu nyoba buat nolak, hasilnya sama. Pada akhirnya, gua kalah. Gua ga kalah, tapi gua ngalah.

Gua ngalah, karna gua punya rencana. Lo harus ikutin rencana gua, Satya.” Satya menatap Rava, terdiam menatap wajah gadis itu. Lalu mengangguk sebagai tanda, bahwa ia setuju meski belum tahu apa rencana sang gadis.

Rava menghela nafas, lagi. “Jadi, saat pertemuan keluarga kemaren, gua udah ngasih syarat. Yang pertama, hak Riki jadi punya gua, dan gua udah dapetin itu. Yang kedua, gua mau kita, lo, gua, Hesa lost contact dari orang tua gua, orang tua Hesa. Gua mau kita pindah, Ke Jogja or Bandung. Ketiga, gua bakal lanjut kuliah ke Aussie, bareng Surya. Sebelum gua pergi ke Aussie, gua bakal nikahin lo sama Hesa, dan...” Rava mengambil nafas panjang, lalu menghembuskannya dengan berat.

“Gua bilang, kalau lo bisa hamil, gua cerai sama Hesa, kalau lo gabisa hamil, lo cerai sama Hesa. Tapi, itu semua cuman kedok gua, mau lo hamil atau enggak, Aya, gua yang bakal cerai sama Hesa.” Rava mengakhiri ucapannya sambil menatap wajah Satya yang hanya terdiam.

“Tapi gua cowok, Rava...” Rava mendengar ucapan kecil Satya, Rava berdiri, ia yang semula duduk bersebelahan dengan Surya, kini berpindah duduk bersebelahan dengan Satya.

“Gua udah bilang, syarat terakhir cuman kedok. Kalau lo bisa, gua seneng, kalau gabisa, kalian bisa adopsi anak, 'kan?” Rava mengelus punggung Satya, “Rava.. lo rela ninggalin kerjaan lo sebagai dosen?”

Rava mengangguk sebagai jawaban, “Iyalah. Udah setahun gua mikirin ini, akhirnya gua nemu waktu yang tepat. Tapi, nikahannya ini cuman kerabat dekat sama keluarga yang tau. Satya, lo kalau ga kuat, gausah datang, atau pura-pura gatau sama semuanya, ya?” Rava kembali berujar.

Satya hanya mengangguk, dia ingin marah karena kekasihnya akan menikah dengan sahabat kecilnya, tapi disisi lain ia sudah dijelaskan semuanya dari awal sampai akhir. Bahkan, pikiran tentang apakah ia bisa hamil memenuhi otaknya.

Satya berharap ia bisa, agar Rava tak perlu melakukan pembohongan. Satya harap.

Rava mengacak-acak rambut Satya, membuat Satya kembali terfokus pada gadis dihadapannya. “Gausah dipikirin, sekarang lo bikin surat pindah tempat kerja, ya. Maaf banget jadi rumit gini, mana nyerempet ke hubungan lo sama Hesa, emang mantan mama gua ngeselin.” Keluh Rava, kembali duduk disamping Surya.

Satya hanya terkekeh pelan, “Makasih ya, Rava.”


Hesa – Juan.

Hesa terdiam, mendengar perkataan Juan. Ia mencerna perkataan sang adik di otaknya dengan susah payah. “Coba ulangin, Juan.” Perintahnya, kepada Juan.

Juan menelan saliva-nya susah payah, “Kakak dijodohin sama Kak Rava, mama gasetuju hubungan kakak sama kak Satya.” Ulang Juan, namun kini dengan suara yang lebih bergetar.

Hesa menganggukkan kepalanya, “Mama tahu darimana?” Tanya Hesa, dengan suara dingin.

“Kak Rava... Tapi... AKU BISA JELASIN! KAKAK JANGAN SALAHIN KAK RAVA DULU!” jawab Juan, dengan berteriak, membuat semua mata tertuju padanya.

Hesa menganggukkan kepalanya, kalau sampai adiknya berani berteriak didepannya, berarti adiknya jujur. “Jelasin.”

Juan mengangguk, “Waktu itu. Satu Tahun yang lalu, Kak Rava sama Mama-nya sama Riki, kerumah, kakak memang sengaja ga dikasih tahu. Wajah kak Rava merah, air muka Riki juga. Aku bingung, ini kenapa tiba-tiba mama Riki sama kak Rava datang kerumah. Mama nyambut mereka, ramah. Lebih dari biasanya. Tapi, Kak Rava sama Riki biasanya kalau kerumah selalu senengkan? bahkan kalau kerumah langsung nutup muka kalau mereka lagi marah, kesel, sedih. Apalagi kak Rava.

Mereka duduk diruang tengah, Riki datangin aku kekamar. Aku tanya, “Kenapa Ki? muka lo kesel banget gua liat.” Riki cuman diem, biasanya dia baru datang udah ngejahilin. Akhirnya, kayaknya sekitar 5 menit-an dia diemin pertanyaan aku, dia akhirnya jawab; “Kakak lo sama kakak gua dijodohin,” Aku kaget. Beneran kaget, terus aku ngasih air dinakas kamar ke-Riki. Ga lama aku sama Riki denger, Kak Rava teriak kayak gini, “Sinting! Masih jaman perjodohan kayak gini? kalian pikir kita hidup jaman Majapahit atau jaman Sangkuriang? Aku nolak! LAGIAN HESA ITU PUNYA SATYA!” aku sama Riki buru-buru keluar, buat ngeliat kak Rava sama mama-mama kita.

Aku sama Riki ga nyangka, kalau kak Rava berani bongkar kalau kakak pacaran sama kak Satya. Mama langsung ngebrak meja, “Hesa sama Satya? Satya yang sering bertiga sama kamu sama Hesa? Dia COWOK! Dia gabisa ngasih Hesa Keturunan, Rara!” Air wajah kak Rava makin gabisa ditebak. Akhirnya, dia malah ketawa. “Oh iya, gabisa? sok tau! aku bilang, aku nolak nikahin Hesa sama Satya aja.” Abis ngejawab itu, Kak Rava langsung pergi. Aku sama Riki ngejar kak Rava, ninggalin air wajah mama-mama kita yang kayak kesel banget.”

Nafas Hesa tercekat, ia akhirnya menghela nafas panjang, “Juan. Minum dulu,” Perintahnya. Juan mengangguk, ia meminum-minumannya.

Hesa masih mencerna semuanya yang diberitahu oleh Juan, pusing. Kepala Hesa pusing, kenapa semuanya rumit. Ia kira, orang tuanya tak akan mengikuti acara lama; perjodohan. Ternyata, orang tuanya tak membiarkan ia memilih pasangan hidupnya sendiri. Ternyata, tidak.

Juan telah selesai dengan minumannya, seperti ada beban yang dikeluarkan oleh hatinya. “Jangan salahin kak Rava...” ucap Juan, pelan. Namun ucapannya masih terdengar oleh Hesa.

Hesa mengangkat kepala Juan yang tertunduk, “Enggak. Makasih ya, dek.” Ucap Hesa, sambil tersenyum kearah Juan. Juan mengangguk, “Yaudah kamu pulang. Kamu hebat, dek. Tenangin diri kamu.”

Juan lagi-lagi mengangguk, “Aku pulang ya kak... kakak hati-hati...” Hesa mengangguk.

“Iya. Kamu juga hati-hati.”


Hesa – Rava.

“Oke, jadi awalnya gini.”

Hesa menggeleng, “Gaperlu diceritain dari tahun lalu. Gua udah diceritain sama Juan.” Rava memitar bola mata-nya, “Kalau udah tau ngapain nanya lagi.”

“Gua mau lo bikin rencana.” Jawab Hesa, Rava menghirup pelan kopi dicangkirnya. “Gua udah punya, lo mau denger?” Hesa mengangguk.

“Besok, ada pertemuan keluarga lo sama gua. Mama gua pasti bakal bilang, “Rava udah setuju. Tinggal kamu, Hesa.” Sebelum itu, Gua bakal ngasih syarat ke-orang tua gua, ke-mama gua. Syarat-nya, yang pertama, Riki jadi hak milik gua. Yang kedua, sehabis nikah, gua mau lo, gua, Riki, Lost contact sama orang tua kita, mereka gaboleh tau dimana kita tinggal, kerja kita apa, atau apapun itu. Well, gua pengen tinggal di Jogja atau di Bandung.

Maybe, last one, Gua bakal nikahin lo sama Satya, and kalau Satya bisa hamil, gua sama lo cerai, dan mama gua tetep gaboleh nyoba ngehubungin gua sama Riki. Kalau Satya gabisa hamil, lo yang cerai sama Satya. Selama gua lanjut S3 di Aussie.” Jelas Rava, ia kembali meminum kopinya.

Hesa mengerutkan alisnya, “Wait. ‘Selama gua lanjut S3’ maksud lo?” tanyanya, meminta penjelasan.

Rava menaruh minumannya, “Iya. Aussie. Gua lanjut kuliah sama Surya. Baru kesampaian sekarang, karena gua akhirnya punya momen yang tepat buat ninggalin mama gua. Terus, selama gua disana. Please pas pulang gua harus liat lo sama Satya punya anak bayi. Biar kalian berdua lebih leluasa,” Jelasnya. Hesa cuman ngangguk kecil.

“Lo relain kerjaan lo demi semuanya?” Rava mengangkat bahunya, “Naurr. Gua cuman mau lo sama Satya nyatu.” Rava melirik jam tangannya, “Yaudah gua mau lanjut rekap nilai. Kasih tau gua kalau lo setuju sama rencana gua. Jangan ngebut lo, Hesa. Hati-hati.” Rava berdiri, lalu meninggalkan Hesa sendirian disana.


Aksara memasuki rumahnya setelah mengambil nafas panjang, ia sudah membuat keputusan. Ia selama dijalan memikirkan kalau ia tak datang kepernikahan sang ‘mantan’ maka ia pasti akan dikira gagal move on, 'kan?

Padahal dalam kenyataannya, dia memang gagal move on. Bahkan mungkin tidak ingin melupakan, who's know?

Diruang tengah sudah ada Aska, Kalino dan Jei yang sedang tertawa. Ntah menertawakan apa, Aksa tak berniat ingin tahu. Takut lupa akan tujuannya mengumpulkan semua saudaranya,ㅡkecuali Jei.

Jei menyapa sang kakak kedua terlebih dahulu, “Dah balik lo? cepet ngomong sini bang.” Jei berdiri, menarik Aksa untuk duduk disampingnya. Ia melakukan itu agar Aksara tak lagi bertele-tele, karena ia sudah sangat lelah dan ingin segera berpelukan dengan sang kasur.

Aska menghirup tehnya, “Kayak mama banget...” ucap ketiga saudaranya, dari dalam hati.

“To the point, udah malem.” Suara Aska memecahkan keheningan diantara mereka, saat Aska sibuk dengan tehnya, Jei dan Aksa sedang memikirkan masalah yang akan mereka bicarakan, sedangkan Kalino sibuk dengan ponsel pintarnya.

Jei menyenggol tangan Aksara, yang tersenggol meneguk ludah kasar. “Gua sebenernya udah 2 tahun putus sama Amerta. Dengerin gua dulu, gua jelasin. Jangan dipotong gua mohon, sehabis itu lo mau marah atau gimana terserah. Tapi dengerin penjelasan gua dulu, ya?”

Aska sudah melotot, sudah siap melempar cangkir tehnya kearah muka tampan milik Aksa. Tapi, ia mengurungkan niatnya, karena ia termasuk orang yang memiliki kepekaan tinggi.

Aska juga hapal betul, Aksa melakukan sesuatu pasti dengan pikiran yang matang.

Aska hanya mengangguk sebagai jawaban, ia tahu bahwa Aksa menunggu. Kalino dan Jei hanya diam, hanya berjaga-jaga takut Aska tiba-tiba mengamuk.

Aksa menghela nafas panjang, “Gua putus sama Amerta sekitar 2017? atau 2018? pokoknya 2 tahun yang lalu. Gua bakal jelasin semuanya secara perinci biar lo ga salah paham. Pertama-tama, gua putus sama dia, karena orangtuanya Homophobic, dan orangtuanya gamau punya anak suka sama yang ‘sama’. Lo paham maksud gua, 'kan? itu alasan pertama. Alasan kedua, masalah Amerta lanjut Studi ke Aussie itu bener.

Gua ga bohong masalah itu, Aska. Dia emang bener-bener lanjut studi disana, tapi dengan alasan biar gua sama dia jauh. Balik lagi kealasan pertama, orangtuanya gasuka. Jadi itu dua alasan yang ngeharusin gua sama Amerta pisah. Kalau udah masalah orangtua, gua gabisa negoisasi. Kita gabisa maksain semuanya, Tuhan juga pasti punya skenario terbaiknya buat kita, 'kan? gua cuman bisa pasrah to be honest. Terus.. Alasan gua nyembunyiin itu semua karena gua gaberani.

Gua takut ngasih tau lo, Aska, gua takut ngasih tau ke Bang Kalino, ke mama. gua takut. Gua gapunya keberanian, kalian udah suka banget sama Amerta. Gua takut kalian kecewa.” Jei bernafas lega, mengelus dadanya. Hanya ia yang menjadi pundak untuk kakaknya satu ini, semuanya ia simpan.

Aska hanya terdiam, tak bisa berkata-kata, lalu suara helaan terdengar dari mulutnya.

“Padahal kalau lo ngomong dari awal, gua ga akan marah. Tapi, kalau udah kayak gini gua gimana bisa marah? lo udah nyoba buat jujur, meski kita cuman beda 13 menit. Gua ngehargain lo sama kayak gua ngehargain Bang Kalino. Lain kali kalau ada apa-apa lo ngomong sama gua, jangan ke Jei. Selain ke Jei juga ada Bang Kalino lho? masalah lo sama Amerta, gua gamasalah. Gua tau, kalian berdua sebenernya saling sayang. Tapi, pasti ada satu alasan kenapa lo berdua harus pisah.” Aska menjawab semua perkataan Aksa dengan senyuman maklum terpampang diwajah cantiknya.

Kalino hanya mengangguk-angguk, ia bingung harus menjawab apa. Toh, dihubungan anak muda pasti wajar untuk putus.

“Nah bereskan? besok kondanganlah.” Jei mencairkan suasana, Aska mengerutkan alisnya. “Siapa nikah? kok undangannya gada di gua?” Jei lagi-lagi menyenggol lengan Aksa.

“Amerta. Besok dia nikah sama cewek yang dijodohin sama dia...” Aksa menjawab dengan wajah cengengesan sambil menggaruk tengkuknya, Jei juga melakukan hal yang sama.

Aska memukul meja ruang tamu, “HARUSNYA LO BILANG DARI 2 TAHUN LALU KALAU LO UDAH PUTUS SAMA AMERTA BIAR DIA NIKAH GUA GA KAGET. MENDADAK BANGET ANJING! LO BERDUA NGINEP DI TEMPAT TONGKRONGAN LO AJA SANA!”

“LAH AKU JUGA?!” Jei berteriak, tak terima.

“YA LO SEKONGKOL! PERGI SANA!”


Aksara memasuki rumahnya setelah mengambil nafas panjang, ia sudah membuat keputusan. Ia selama dijalan memikirkan kalau ia tak datang kepernikahan sang ‘mantan’ maka ia pasti akan dikira gagal move on, 'kan?

Padahal dalam kenyataannya, dia memang gagal move on. Bahkan mungkin tidak ingin melupakan, who's know?

Diruang tengah sudah ada Aska, Kalino dan Jei yang sedang tertawa. Ntah menertawakan apa, Aksa tak berniat ingin tahu. Takut lupa akan tujuannya mengumpulkan semua saudaranya,ㅡkecuali Jei.

Jei menyapa sang kakak kedua terlebih dahulu, “Dah balik lo? cepet ngomong sini bang.” Jei berdiri, menarik Aksa untuk duduk disampingnya. Ia melakukan itu agar Aksara tak lagi bertele-tele, karena ia sudah sangat lelah dan ingin segera berpelukan dengan sang kasur.

Aska menghirup tehnya, “Kayak mama banget...” ucap ketiga saudaranya, dari dalam hati.

“To the point, udah malem.” Suara Aska memecahkan keheningan diantara mereka, saat Aska sibuk dengan tehnya, Jei dan Aksa sedang memikirkan masalah yang akan mereka bicarakan, sedangkan Kalino sibuk dengan ponsel pintarnya.

Jei menyenggol tangan Aksara, yang tersenggol meneguk ludah kasar. “Gua sebenernya udah 2 tahun putus sama Amerta. Dengerin gua dulu, gua jelasin. Jangan dipotong gua mohon, sehabis itu lo mau marah atau gimana terserah. Tapi dengerin penjelasan gua dulu, ya?”

Aska sudah melotot, sudah siap melempar cangkir tehnya kearah muka tampan milik Aksa. Tapi, ia mengurungkan niatnya, karena ia termasuk orang yang memiliki kepekaan tinggi.

Aska juga hapal betul, Aksa melakukan sesuatu pasti dengan pikiran yang matang.

Aska hanya mengangguk sebagai jawaban, ia tahu bahwa Aksa menunggu. Kalino dan Jei hanya diam, hanya berjaga-jaga takut Aska tiba-tiba mengamuk.

Aksa menghela nafas panjang, “Gua putus sama Amerta sekitar 2017? atau 2018? pokoknya 2 tahun yang lalu. Gua bakal jelasin semuanya secara perinci biar lo ga salah paham. Pertama-tama, gua putus sama dia, karena orangtuanya Homophobic, dan orangtuanya gamau punya anak suka sama yang ‘sama’. Lo paham maksud gua, 'kan? itu alasan pertama. Alasan kedua, masalah Amerta lanjut Studi ke Aussie itu bener.

Gua ga bohong masalah itu, Aska. Dia emang bener-bener lanjut studi disana, tapi dengan alasan biar gua sama dia jauh. Balik lagi kealasan pertama, orangtuanya gasuka. Jadi itu dua alasan yang ngeharusin gua sama Amerta pisah. Kalau udah masalah orangtua, gua gabisa negoisasi. Kita gabisa maksain semuanya, Tuhan juga pasti punya skenario terbaiknya buat kita, 'kan? gua cuman bisa pasrah to be honest. Terus.. Alasan gua nyembunyiin itu semua karena gua gaberani.

Gua takut ngasih tau lo, Aska, gua takut ngasih tau ke Bang Kalino, ke mama. gua takut. Gua gapunya keberanian, kalian udah suka banget sama Amerta. Gua takut kalian kecewa.” Jei bernafas lega, mengelus dadanya. Hanya ia yang menjadi pundak untuk kakaknya satu ini, semuanya ia simpan.

Aska hanya terdiam, tak bisa berkata-kata, lalu suara helaan terdengar dari mulutnya.

“Padahal kalau lo ngomong dari awal, gua ga akan marah. Tapi, kalau udah kayak gini gua gimana bisa marah? lo udah nyoba buat jujur, meski kita cuman beda 13 menit. Gua ngehargain lo sama kayak gua ngehargain Bang Kalino. Lain kali kalau ada apa-apa lo ngomong sama gua, jangan ke Jei. Selain ke Jei juga ada Bang Kalino lho? masalah lo sama Amerta, gua gamasalah. Gua tau, kalian berdua sebenernya saling sayang. Tapi, pasti ada satu alasan kenapa lo berdua harus pisah.” Aska menjawab semua perkataan Aksa dengan senyuman maklum terpampang diwajah cantiknya.

Kalino hanya mengangguk-angguk, ia bingung harus menjawab apa. Toh, dihubungan anak muda pasti wajar untuk putus.

“Nah bereskan? besok kondanganlah.” Jei mencairkan suasana, Aska mengerutkan alisnya. “Siapa nikah? kok undangannya gada di gua?” Jei lagi-lagi menyenggol lengan Aksa.

“Amerta. Besok dia nikah sama cewek yang dijodohin sama dia...” Aksa menjawab dengan wajah cengengesan sambil menggaruk tengkuknya, Jei juga melakukan hal yang sama.

Aska memukul meja ruang tamu, “HARUSNYA LO BILANG DARI 2 TAHUN LALU KALAU LO UDAH PUTUS SAMA AMERTA BIAR DIA NIKAH GUA GA KAGET. MENDADAK BANGET ANJING! LO BERDUA NGINEP DI TEMPAT TONGKRONGAN LO AJA SANA!”

“LAH AKU JUGA?!” Jei berteriak, tak terima.

“YA LO SEKONGKOL! PERGI SANA!”


Mereka semua sudah ada dibandara, sampai tepat pada pukul 19.00 kurang 2 menit dari waktu yang dijanjikan.

Aksa mendudukkan diri di kursi yang tersedia dibandara, disampingnya ada Revasha yang juga ikut duduk bersamanya. Sedangkan yang lain pergi ke cafetaria Bandara, bermaksud tak ingin menguping pembicaraan Aksa dan Revasha, Meski mereka sudah membicarakan hal itu sedikit saat di mobil tadi.

“Lo kenapa putus?” tanya Aksara secara gamblang, Revasha hanya terdiam, ia menutupi wajahnya dengan topi yang diberikan Aksa.

“Orang tuanya, ngelarang dia buat berhubungan sesama jenis. Gua yakin, Angkasa bakal ngelakuin hal yang sama. 2 bulan lagi, Kak Chandra bakal tunangan sama cewek pilihannya,” Revasha menegakkan tubuhnya, memberikan topi yang ia gunakan kepada sang pemilik.

Pilihannya?” ulang Aksa, ia-pun juga ikut menegakkan tubuhnya, menatap Revasha yang ada disampingnya. Revasha mengangguk, “Kak Chandra cerita semuanya. Dia bilang, dia dikasih banyak banget foto cewek, dan dia harus pilih satu diantara cewek itu. Kalau enggak milih, maka dia harus terima cewek yang dipilih sama orang tuanya. Karena dia gamau

Jadi dia milih sendiri, atau dia bakal ke Aussie. Gua rasa sekarang Angkasa bakal Ke Aussie, terus dia mutusin lo, gamau ngambil sembarang opini, tapi gua cuman mikirin secara logis karena kita berhubungan sama anak keluarga Reisha.” Jelas Revasha, Aksara hanya terdiam. Memikirkan perkataan masuk akal yang dijelaskan Revasha.

“Yang dibilang Reva bener kok,” Suara Amerta, terdengar dari arah belakang Aksa san Reva. Mereka berdua reflek berdiri, dan menatap nanar Amerta yang kini tengah memakai hoodie dan juga syal serta membawa 3 koper dan 1 tas selempang, disampingnya ada Chandra, Kakak Amerta.

“Maaf...” Amerta melepas pegangan pada wadah kopernya, memeluk Aksa. “Maaf...”

“Aku gamau... tapi orang tuaku maksa.. aku gamau ninggalin kamu...” Aksa hanya terdiam mendengar perkataan Amerta, tangannya hanya mampu mengelus-elus punggung sang mantan kekasih.

Aksa memasang senyum paksa, ia melepas pelukan Amerta. “Ini perintah orang tua kamu, lepasin aku. Bahagia disana, ya? lepasin, lupain aku. Kamu pantes dapet perempuan.” Aksa mengacak-acak rambut pirang milik Amerta.

Mata Amerta sudah tak bisa menahan tangisnya, ia terisak. Mengangguk-angguk atas perkataan Aksa. “Aku harap kamu nemuin rumah kamu di Australia, aku bukan rumah yang kamu tuju, Amerta.” Amerta hanya menjawab dengan gelengan.

“Kamu rumah aku, kamu tempat berteduh aku, enggak ada yang bisa gantiin posisi kamu..”

Aksa menggeleng keras, menepuk-nepuk kepala Amerta. “Makasih buat 2 tahunnya, ya cantik? i hope u happy. Maybe, see u next time. I love u so much much much.” Aksara menarik Amerta kedalam pelukannya, “I love u more...” jawab Amerta dengan suara bergetar. Ia masih terisak didalam pelukan Aksara.

Amerta melepaskan pelukannya, “Maaf dan makasih ya..” Aksa mengangguk dengan senyuman paksa terpampang jelas diwajahnya.

Buk!

Tiba-tiba terdengar suara seseorang memukuli orang lain, saat Aksa, Amerta, Reva dan Chandra menoleh kearah belakang Aksa dan Reva, ternyata itu adalah Renjana tengah menangis, namun sambil memukuli dada sang kekasih yang mendekapnya.

Sean dan Jay hanya tersenyum menahan malu, sedangkan Aji dan Seiya berusaha menenangkan Renjana. Rafael hanya pasrah, Chakra dan Andara menertawakan mereka dalam diam karena tak ingin merusak suasana dihadapan mereka, dan Mahesa dengan wajah datarnya melihat adegan yang mengharukan dihadapan nya.

“Malu banget gua.” ucap Mahesa, yang mendapat gelak tawa dari sekitar.

“Aku harap hubungan kita bisa baik-baik aja.” Amerta mengangguk, meng-iyakan perkataan Aksara.

“Aku harap juga begitu..”


Amerta duduk dihadapan kedua orangtuanya, beserta dengan sang kakak yang juga ada disana, yang hanya menunduk. Laki-laki cantik itu hanya menatap mereka bertiga bingung.

Amerta mencoba memberanikan diri bertanya, “Ini ada apa ya?” tanyanya, dengan suara yang kecil; namun bisa terdengar.

Sang Ayah menatap Amerta, “Putus.” Amerta semakin kikuk, “Iya?”

“Putus, Angkasa.” Sang ibu mengulangi perkataan sang ayah, “Maksudnya... sama Aksa..?” pertanyaannya, mendapat anggukan dari sang ayah dan sang ibu.

“Ya. Tidak ada hubungan sejenis diantara keluarga kita, dan kamu bakal mama sama papa pindahkan ke Aussie. Tinggal sama Tantemu disana, sama Azka juga. Masalah kuliahmu, kamu lanjut disana. Tidak ada penolakan, jika kamu tidak memutuskan hubunganmu dengan Aksara, kamu akan tahu akibatnya, Angkasa.” Tegas sang ayah, air wajah Amerta tak bisa dibaca. Ia kaget, sedih, bingung, semuanya tercampur jadi satu diwajah cantiknya.

Ia berpikir, kenapa tiba-tiba..? Setelah hubungan nya dan Aksa sudah berumur 2tahun, kenapa baru sekarang ia dilarang berhubungan? aneh.

“Tapi kenapa...?”

“Tapi kenapa kamu tanya? coba kamu pikirkan! hubunganmu dengan Aksara tidak akan menghasilkan keturunan!” jawab sang Ibu, yang membuat Amerta sedikit sesak, sakit.

“Tapi kita bisa mengadopsi anak, 'kan?” Amerta itu tak mengenal takut, ia akan terus menjawab semuanya selagi ia mampu.

“Keluarga kita butuh anak yang sedarah daging, bukan hasil dari panti asuhan atau memungut dijalanan,” Sakit, perkataan orangtuanya sangat sakit. Amerta benar-benar ingin menangis sekarang.

“Tapi.. saat aku bersama kak Chakra, Mama dan papa tidak melarang!” sudah tidak tertahankan lagi, air matanya jatuh. Tak sengaja membawa-bawa Chakra kedalam perkelahian mereka.

“Karena kalian masih SMA! tidak mungkin berpikir untuk kejenjang yang lebih serius. Sekarang kamu sudah kuliah, Aksara juga. Papa yakin tidak menutup kemungkinan kalian sudah membahas masa depan yang hanya omong kosong belaka, 'kan? kalau kamu lupa, keluarga dari ayah itu homophobia. kamu jangan mempermalukan keluarga. Tinggal ikuti perintah, gampang, 'kan?”

Amerta menggeleng keras, mengusap air matanya yang terus-menerus keluar. “Tidak! kalian berdua egois!”

Amerta meninggalkan ruang keluarga mereka, berlari kelantai dua, kekamarnya. Saat dikamar, ia mendapati ada 3 koper yang saat ia buka ternyata sudah terisi baju dan beberapa barang berharganya.

Orang tuanya ternyata memang seniat itu.


Chandra yang mendengar perdebatan adik dan orangtuanya hanya terdiam, saat sang adik memasuki kamarnya, ia berinisiatif untuk mendatanginya.

“Aku yang jelasin,” Ucap Chandra, lemah. Orangtuanya mengangguk setuju, tapi sebelum itu, Langkah Chandra tertahan karena ucapan sang Ayah.

“Kamu juga, putuskan hubunganmu dengan Revasha. Atau tidak kamu ikut Angkasa ke Aussie,” Chandra menghela nafas panjang, sesak. Tapi, ia hanya menjawab dengan anggukan.

“Bagus, 2 bulan lagi kamu bakal dijodohin sama temen mama. Sebelum itu, kamu harus sudah putus dengannya.” Chandra lagi-lagi hanya mengangguk, lalu melanjutkan langkahnya menuju kamar sang adik.

Orangtua mereka, benar-benar egois. Mementingkan perasaan mereka sendiri, dari pada perasaan anak-anak mereka.

Padahal, Chandra sangat menyetujui perkataan Amerta. Bahwa jika mereka tidak bisa membuat keturunan, mereka bisa mengadopsi anak yang ada di Panti Asuhan. Karena mereka juga butuh orang tua.

Sungguh, egois.

Sebelum mengetuk pintu kamar Amerta, Chandra menghela nafas panjang. “Amerta.” panggil Chandra, dari luar Chandra dapat mendengar bahwa sang adik saat ini tengah menangis.

Tak ada jawaban dari dalam, tak ada suara langkah juga yang terdengar dari dalam, Chandra langsung membuka pintu kamar tersebut sambil mengucapkan kata, ‘maaf’

Baru saja membuka pintu, Chandra sudah disuguhkan pemandangan ada 3 koper yang sudah teracak, ia yakin orang tuanyalah yang menyiapkan koper-koper yang sudah terisi itu.

“Amerta..”