Alarm berbunyi, membangunkan seorang laki-laki yang masih bergulung dengan selimut. Ia segera bangkit dari tempat pulau kapuknya, mematikan alarm yang masih berbunyi.
Waktu di alarm menunjukkan pukul 07.24 pagi, di bawah sudah terdengar ribut-ribut suara keluarganya yang sedang beradu sendok. Ia tak berniat ikut bersama mereka, tapi ia beranjak dari kasurnya menuju kamar mandi sambil membawa baju yang akan ia pakai untuk pergi ketempatnya berkerja.
Keluar dari kamar mandi, ia merapikan rambutnya yang sedikit basah, lalu mengecek ponsel pintarnya sesaat, dan kembali menyimpannya.
Ia keluar kamar sambil membawa tas yang berisi dompet dan ponsel pintarnya, ia berdiri di depan tangga, menatap keluarganya yang masih berduduk disana, sambil sesekali bercanda.
Matanya beralih, menatap gadis kecil yang mungkin berumur sekitar 10 tahun itu. Lalu membuang mukanya, dan menuruni tangga dengan wajah tanpa melirik kearah meja makan sedikitpun.
“Shav, gamakan dulu?” suara berat yang dikenalinya itu membuat yang dipanggil menoleh, Shavian, ㅡ namanya. Mengerutkan alis menatap laki-laki yang bernotabene sebagai adiknya.
“Gamakan dulu?” ulangnya, karena merasa tak mendapat jawaban dari sang lawan bicara. “Enggak. Saya bilang, saya ga akan pernah sarapan lagi, 'kan?” sahutnya, dengan nada yang sedikit dingin.
Sang lawan bicara memutar bola matanya malas, “Sampai kapan lo kayak gini? perkara Azkia doang lo berubah kayak gini. Ga kayak lo yang dulu.” ia menatap Shavian dengan sinis, Shavian hanya memasang senyum yang lebih mirip seringai.
“Lo tau semuanya, Liam. Lo tau, lo juga ada disana. Kenapa lo nanya segala? udah cukup tiap hari lo ngajak gua berantem hal gak jelas gara-gara Azkia doang.” sahutan Shavian membuat satu orang lagi menggebrak meja, kakak keduanya.
“Terima kehadiran dia, apa susahnya, Shavian?” Shavian hanya menjawab dengan gelengan, “Gua ga kuat. Coba lo ada di posisi gua, Bian. Lo bakal kuat natap muka anak lo yang persis sama muka suami lo yang meninggal gara-gara lebih merjuangin anaknya? LO BAKAL KUAT GUA TANYA?” di akhir, ia sedikit berteriak. Membuat gadis yang tengah dibicarakan matanya mulai berkaca-kaca.
“Tapi, gua gabakal larut, Shavian. DIA ANAK LO, Anak lo, lo udah dewasa, 'kan? berapa umur lo sekarang Shavian? 32tahun? Tua. Yang kekanakan sifat lo.” Bian, ㅡ Fabian, sang kakak. mengacak rambutnya frustasi.
“Lo semua udah, jangan berantem, anjing. Udah tua juga, biarin aja Shavian, Azkia denger perkataan lo semua. Tolong hargai dia, anjing.” Ayana yang sendari tadi hanya diam sambil mengelus-elus pundak Azkia yang terduduk dimeja makan, akhirnya membuka suaranya. Geram, itu yang dirasakannya.
Setiap pagi, kejadian sama terus berulang, Liam, Fabian dan Shavian selalu bertengkar.
“Shav, pergi aja lo ketempat kerja lo sana. Udah mau jam 9, lo bakal telat.” Daniel, yang tertua memerintah. Shavian yang mendengar perkataan sang paling tua, mengangguk. Berlalu dari hadapan Fabian dan Liam yang bungkam sambil mengepalkan tangannya.
Ia baru kembali kerumah pada pukul 10 malam, wajahnya tampak kusut, rambutnya sesekali ia acak, karena merasa panas.
Saat hendak memasuki kamarnya, ia melihat pintu kamarnya terbuka sedikit. Ia mengerutkan alisnya bingung, tak ada yang berani masuk pergi kedalam kamarnya setelah suaminya pergi.
Ia memasuki kamar itu, dan melihat Azkia tengah terduduk diatas kasurnya sambil memegang satu kotak kecil. Alisnya semakin ia kerutkan, “Ngapain disini?” suara dingin Shavian membuat gadis kecil itu terkejut.
“Ayah udah pulang? s – selamat datang!” ucapnya, dengan nada yang sedikit gugup. “Ngapain disini, saya tanya?” ulangnya, tak memperdulikan pertanyaan/pernyataan (?) Azkia.
“Eum.. itu.. Azkia mau minta maaf sama ayah, soal kejadian tadi pagi, dan aku bakal minta uncle Bian sama uncle Liam buat ga berantem lagi sama ayah. Ini, buat ayah! Tadi aunty yang nyuruh aku ngasih ini buat ayah. Semoga ayah suka ya!” Azkia memegang tangan dingin milik Shavian, menaruh kotak kecil yang ia pegang, lalu tersenyum kecil.
“Aku pergi tidur dulu ya, ayah jangan begadang, nanti sakit!” Dia berlalu dari hadapan Shavian, dengan berlari kecil. Shavian masih membeku disana, tak mengerti apa situasi yang sedang terjadi.
Ia menggelengkan kepalanya, menyadarkan diri. Lalu menaruh kotak kecil itu disamping nakas tempat tidurnya, dan pergi menuju kamar mandi.
Selesai membersihkan diri, ia baru saja ingin merebahkan dirinya, namun kembali teringat dengan kotak kecil yang diberikan Azkia.
Shavian membuka ikatan kotak itu, sedikit terkejut dengan isi kotaknya, hanya ada beberapa permen kapas dan satu kertas kecil disana.
Oh, Ayolah. Shavian bukan anak kecil yang suka memakan permen kapas. Lupakan tentang hal ini.
Shavian membuka kertas kecil tersebut, disana terlihat tulisan anak-anak yang acak tak beraturan, namun masih tetap berjajar dengan baris yang ada di kertas.
Ayah! Azkia minta maaf sama ayah, maaf udah bikin ayah berantem terus sama uncle Bian sama uncle Liam. Azkia ga pengen kalian terus-terusan berantem gara-gara Azkia, jadi Azkia minta ke aunty Aya buat bantuin Azkia bikinin ini ke ayah, uncle Bian, sama uncle Liam! Sebenernya Azkia pengen banget ke makam papa sama ayah. Tapi, ayah gapernah mau, ya iya sih hehe, soalnya Azkia yang rebut papa dari ayah. Maaf ya ayah, Azkia egois. Azkia pengen bisa deket sama ayah, kata tetangga deket sama orang tua itu seru. Tapi, Azkia gabisa deket, tapi gapapa. Ayah udah mau ngomong sama Azkia aja, Azkia udah seneng bangett! Kapan-kapan jalan sama Azkia, ya? Azkia sayang ayah!
Shavian menutup kertas itu, ia hanya terdiam, merasa bersalah. Ia sudah terlalu jahatkah untuk ini? ia hanya tidak bisa menerima kehadiran Azkia, bukan hanya karena Azkia yang benar-benar mirip dengan Azka. Tapi, karena Azka menyuruhnya untuk lebih memilih menyelamatkan Azkia daripada dirinya sendiri.
Shavian merebahkan dirinya asal di atas kasurnya, menutup matanya dengan tangannya. “Iya. ayo jalan-jalan sama ayah.”
Shavian saat ini sedang duduk bersama dengan Ayana di taman belakang rumah keluarga mereka, hening, hanya ditemani semilir angin yang meniup helai-helai rambut mereka.
“Besok minggu, 'kan?” Shavian, membuka pembicaraan mereka terlebih dahulu. Ayana mengangguk sebagai jawabannya, “Kenapa?” tanyanya.
Shavian menggeleng, “Besok gua boleh pinjem Azkia?” Ayana bangkit dari duduknya, “Hah? gimana? mau ngapain? mau lo taruh di panti, Shav? ENGGAK ANJING.” Shavian menggeleng, lagi.
“Gua mau ngajak dia jalan-jalan, ketempat itu.” sahut Shavian, dengan suara sedikit serak. Ayana kembali mendudukkan dirinya di samping Shavian. “Lo kayak gini gara-gara surat Azkia 4 hari yang lalu?” Shavian mengangguk.
“Pergi aja, tapi jangan sampai ketahuan Bian sama Liam, besok gua bakal ada belanja bulanan sama mama, gua bakal ajak Azkia. Lo jemput aja dia di supermarket nanti. Tapi, kalau tujuan lo buat naroh dia di panti, gua gorok lo.”
Shavian hanya mengangguk sambil menundukkan kepalanya, “Thanks, Aya.”
“My Pleasure.”
“Aunty, mam, kenapa kita belum masuk?” Azkia menatap Aya yang seperti melihat kanan kiri, menunggu seseorang.
“Tunggu ya, nanti Azkia masuk ke mobil yang datang, mau jalan sama ayah, 'kan?” tanya Aya, menyamakan tingginya dengan Azkia.
Gadis kecil itu mengangguk antusias, “Maauu!!”
Ayana tersenyum kecil, “Nah yaudah. Tunggu ya.” Azkia hanya mengangguk, merasa senang dengan situasi.
Tak lama, mobil abu yang sangat Azkia kenali, berhenti didepan mereka. Pintu sebelah kirinya dibuka oleh Aya, lalu menggendong Azkia untuk masuk kedalam sana.
“Gua bakal pulang jam 10 pagi, lo harus kembaliin dia disini, gua bakal telpon kalau gua mau pulang.” Aya berucap sambil memakaikan tali pengaman pada Azkia. Shavian hanya mengangguk.
“Jangan ngebut, lo bukan mau balapan. Lo bawa anak kecil.” Aya kembali berujar sebelum menutup pintu mobil tersebut, Shavian lagi-lagi hanya menanggapi dengan mengangguk.
“Gua pergi dulu.”
“Hati-hati.”
Mereka sudah sampai di tempat tujuan, Shavian saat ini tengah menggenggam tangan Azkia, takut gadis itu hilang diantara kerumunan.
“Ayah, sekarang kita dimana?” Azkia bertanya, di tangannya yang tak dipegang oleh Shavian memegang gula kapas besar yang dibelikan oleh Shavian.
“Ditempat yang seru.” Shavian menarik pelan tangan Azkia, mengajak gadis itu berjalan. “Okei!”
Shavian mengajak Azkia ketepian sungai besar yang ada disana, Azkia hanya terdiam, merasa terpukau dengan pemandangan disana.
Sedangkan Shavian terdiam, mengingat beberapa hal yang pernah terjadi disana.
Azkia menoleh kearah sang Ayah, “Ayah? kenapa?” Shavian hanya melirik, lalu menggeleng pelan. “Enggak papa.”
Azkia hanya mengangguk, “Ayah ayo lebih deket!” ia menarik tangan Shavian, yang ditarik hanya mengangguk, pasrah dan mengikuti Azkia.
Setelah lebih dekat, Azkia melepas pegangan tangannya. Lalu berlari kecil melihat air sungai dengan antusiasnya.
Shavian hanya menatap sambil melipatkan tangannya di dada, bayang-bayang masa lalu yang pernah terjadi disini mulai terputar.
Bahkan, bisa membayangkan bahwa Azkia tengah bermain disana bersama Azka. Shavian hanya menggelengkan kepalanya, menghilangkan halusinasi yang tampak nyata itu.
Azkia menarik-narik baju milik Shavian, “Ayah kenapa?” tanyanya, Shavian menoleh, lalu menggeleng pelan. Shavian menyamakan tingginya dengan Azkia, lalu menarik gadis kecil itu kedalam dekapannya.
“Ayah minta maaf, ayah ga benci kamu, ayah cuman belum bisa nerima kenyataan. kamu gaperlu minta maaf sampai bikin surat kayak gitu buat Ayah, Bian sama Liam.” pelukan Shavian dibalas oleh tangan kecil itu.
“Ayah gaperlu minta maaf, Azkia yang salah disini. Azkia udah rebut papa dari ayah, maafin Azkia.” Shavian mengelus surai panjang milik Azkia, “Bukan, ini bukan salah kamu. Salah ayah, maafin ayah. Ayah bakal nyoba buat nerima kehadiran kamu.”
Azkia menutup wajahnya dibahu lebar milik Shavian, ia mengangguk. “Maaf ya, ayah.”
ㅡ end.
no reason
Alarm berbunyi, membangunkan seorang laki-laki yang masih bergulung dengan selimut. Ia segera bangkit dari tempat pulau kapuknya, mematikan alarm yang masih berbunyi.
Waktu di alarm menunjukkan pukul 07.24 pagi, di bawah sudah terdengar ribut-ribut suara keluarganya yang sedang beradu sendok. Ia tak berniat ikut bersama mereka, tapi ia beranjak dari kasurnya menuju kamar mandi sambil membawa baju yang akan ia pakai untuk pergi ketempatnya berkerja.
Keluar dari kamar mandi, ia merapikan rambutnya yang sedikit basah, lalu mengecek ponsel pintarnya sesaat, dan kembali menyimpannya.
Ia keluar kamar sambil membawa tas yang berisi dompet dan ponsel pintarnya, ia berdiri di depan tangga, menatap keluarganya yang masih berduduk disana, sambil sesekali bercanda.
Matanya beralih, menatap gadis kecil yang mungkin berumur sekitar 10 tahun itu. Lalu membuang mukanya, dan menuruni tangga dengan wajah tanpa melirik kearah meja makan sedikitpun.
“Shav, gamakan dulu?” suara berat yang dikenalinya itu membuat yang dipanggil menoleh, Shavian, ㅡ namanya. Mengerutkan alis menatap laki-laki yang bernotabene sebagai adiknya.
“Gamakan dulu?” ulangnya, karena merasa tak mendapat jawaban dari sang lawan bicara. “Enggak. Saya bilang, saya ga akan pernah sarapan lagi, 'kan?” sahutnya, dengan nada yang sedikit dingin.
Sang lawan bicara memutar bola matanya malas, “Sampai kapan lo kayak gini? perkara Azkia doang lo berubah kayak gini. Ga kayak lo yang dulu.” ia menatap Shavian dengan sinis, Shavian hanya memasang senyum yang lebih mirip seringai.
“Lo tau semuanya, Liam. Lo tau, lo juga ada disana. Kenapa lo nanya segala? udah cukup tiap hari lo ngajak gua berantem hal gak jelas gara-gara Azkia doang.” sahutan Shavian membuat satu orang lagi menggebrak meja, kakak keduanya.
“Terima kehadiran dia, apa susahnya, Shavian?” Shavian hanya menjawab dengan gelengan, “Gua ga kuat. Coba lo ada di posisi gua, Bian. Lo bakal kuat natap muka anak lo yang persis sama muka suami lo yang meninggal gara-gara lebih merjuangin anaknya? LO BAKAL KUAT GUA TANYA?” di akhir, ia sedikit berteriak. Membuat gadis yang tengah dibicarakan matanya mulai berkaca-kaca.
“Tapi, gua gabakal larut, Shavian. DIA ANAK LO, Anak lo, lo udah dewasa, 'kan? berapa umur lo sekarang Shavian? 32tahun? Tua. Yang kekanakan sifat lo.” Bian, ㅡ Fabian, sang kakak. mengacak rambutnya frustasi.
“Lo semua udah, jangan berantem, anjing. Udah tua juga, biarin aja Shavian, Azkia denger perkataan lo semua. Tolong hargai dia, anjing.” Ayana yang sendari tadi hanya diam sambil mengelus-elus pundak Azkia yang terduduk dimeja makan, akhirnya membuka suaranya. Geram, itu yang dirasakannya.
Setiap pagi, kejadian sama terus berulang, Liam, Fabian dan Shavian selalu bertengkar.
“Shav, pergi aja lo ketempat kerja lo sana. Udah mau jam 9, lo bakal telat.” Daniel, yang tertua memerintah. Shavian yang mendengar perkataan sang paling tua, mengangguk. Berlalu dari hadapan Fabian dan Liam yang bungkam sambil mengepalkan tangannya.
Ia baru kembali kerumah pada pukul 10 malam, wajahnya tampak kusut, rambutnya sesekali ia acak, karena merasa panas.
Saat hendak memasuki kamarnya, ia melihat pintu kamarnya terbuka sedikit. Ia mengerutkan alisnya bingung, tak ada yang berani masuk pergi kedalam kamarnya setelah suaminya pergi.
Ia memasuki kamar itu, dan melihat Azkia tengah terduduk diatas kasurnya sambil memegang satu kotak kecil. Alisnya semakin ia kerutkan, “Ngapain disini?” suara dingin Shavian membuat gadis kecil itu terkejut.
“Ayah udah pulang? s – selamat datang!” ucapnya, dengan nada yang sedikit gugup. “Ngapain disini, saya tanya?” ulangnya, tak memperdulikan pertanyaan/pernyataan (?) Azkia.
“Eum.. itu.. Azkia mau minta maaf sama ayah, soal kejadian tadi pagi, dan aku bakal minta uncle Bian sama uncle Liam buat ga berantem lagi sama ayah. Ini, buat ayah! Tadi aunty yang nyuruh aku ngasih ini buat ayah. Semoga ayah suka ya!” Azkia memegang tangan dingin milik Shavian, menaruh kotak kecil yang ia pegang, lalu tersenyum kecil.
“Aku pergi tidur dulu ya, ayah jangan begadang, nanti sakit!” Dia berlalu dari hadapan Shavian, dengan berlari kecil. Shavian masih membeku disana, tak mengerti apa situasi yang sedang terjadi.
Ia menggelengkan kepalanya, menyadarkan diri. Lalu menaruh kotak kecil itu disamping nakas tempat tidurnya, dan pergi menuju kamar mandi.
Selesai membersihkan diri, ia baru saja ingin merebahkan dirinya, namun kembali teringat dengan kotak kecil yang diberikan Azkia.
Shavian membuka ikatan kotak itu, sedikit terkejut dengan isi kotaknya, hanya ada beberapa permen kapas dan satu kertas kecil disana.
Oh, Ayolah. Shavian bukan anak kecil yang suka memakan permen kapas. Lupakan tentang hal ini.
Shavian membuka kertas kecil tersebut, disana terlihat tulisan anak-anak yang acak tak beraturan, namun masih tetap berjajar dengan baris yang ada di kertas.
Ayah! Azkia minta maaf sama ayah, maaf udah bikin ayah berantem terus sama uncle Bian sama uncle Liam. Azkia ga pengen kalian terus-terusan berantem gara-gara Azkia, jadi Azkia minta ke aunty Aya buat bantuin Azkia bikinin ini ke ayah, uncle Bian, sama uncle Liam! Sebenernya Azkia pengen banget ke makam papa sama ayah. Tapi, ayah gapernah mau, ya iya sih hehe, soalnya Azkia yang rebut papa dari ayah. Maaf ya ayah, Azkia egois. Azkia pengen bisa deket sama ayah, kata tetangga deket sama orang tua itu seru. Tapi, Azkia gabisa deket, tapi gapapa. Ayah udah mau ngomong sama Azkia aja, Azkia udah seneng bangett! Kapan-kapan jalan sama Azkia, ya? Azkia sayang ayah!
Shavian menutup kertas itu, ia hanya terdiam, merasa bersalah. Ia sudah terlalu jahatkah untuk ini? ia hanya tidak bisa menerima kehadiran Azkia, bukan hanya karena Azkia yang benar-benar mirip dengan Azka. Tapi, karena Azka menyuruhnya untuk lebih memilih menyelamatkan Azkia daripada dirinya sendiri.
Shavian merebahkan dirinya asal di atas kasurnya, menutup matanya dengan tangannya. “Iya. ayo jalan-jalan sama ayah.”
Shavian saat ini sedang duduk bersama dengan Ayana di taman belakang rumah keluarga mereka, hening, hanya ditemani semilir angin yang meniup helai-helai rambut mereka.
“Besok minggu, 'kan?” Shavian, membuka pembicaraan mereka terlebih dahulu. Ayana mengangguk sebagai jawabannya, “Kenapa?” tanyanya.
Shavian menggeleng, “Besok gua boleh pinjem Azkia?” Ayana bangkit dari duduknya, “Hah? gimana? mau ngapain? mau lo taruh di panti, Shav? ENGGAK ANJING.” Shavian menggeleng, lagi.
“Gua mau ngajak dia jalan-jalan, ketempat itu.” sahut Shavian, dengan suara sedikit serak. Ayana kembali mendudukkan dirinya di samping Shavian. “Lo kayak gini gara-gara surat Azkia 4 hari yang lalu?” Shavian mengangguk.
“Pergi aja, tapi jangan sampai ketahuan Bian sama Liam, besok gua bakal ada belanja bulanan sama mama, gua bakal ajak Azkia. Lo jemput aja dia di supermarket nanti. Tapi, kalau tujuan lo buat naroh dia di panti, gua gorok lo.”
Shavian hanya mengangguk sambil menundukkan kepalanya, “Thanks, Aya.”
“My Pleasure.”
“Aunty, mam, kenapa kita belum masuk?” Azkia menatap Aya yang seperti melihat kanan kiri, menunggu seseorang.
“Tunggu ya, nanti Azkia masuk ke mobil yang datang, mau jalan sama ayah, 'kan?” tanya Aya, menyamakan tingginya dengan Azkia.
Gadis kecil itu mengangguk antusias, “Maauu!!”
Ayana tersenyum kecil, “Nah yaudah. Tunggu ya.” Azkia hanya mengangguk, merasa senang dengan situasi.
Tak lama, mobil abu yang sangat Azkia kenali, berhenti didepan mereka. Pintu sebelah kirinya dibuka oleh Aya, lalu menggendong Azkia untuk masuk kedalam sana.
“Gua bakal pulang jam 10 pagi, lo harus kembaliin dia disini, gua bakal telpon kalau gua mau pulang.” Aya berucap sambil memakaikan tali pengaman pada Azkia. Shavian hanya mengangguk.
“Jangan ngebut, lo bukan mau balapan. Lo bawa anak kecil.” Aya kembali berujar sebelum menutup pintu mobil tersebut, Shavian lagi-lagi hanya menanggapi dengan mengangguk.
“Gua pergi dulu.”
“Hati-hati.”
Mereka sudah sampai di tempat tujuan, Shavian saat ini tengah menggenggam tangan Azkia, takut gadis itu hilang diantara kerumunan.
“Ayah, sekarang kita dimana?” Azkia bertanya, di tangannya yang tak dipegang oleh Shavian memegang gula kapas besar yang dibelikan oleh Shavian.
“Ditempat yang seru.” Shavian menarik pelan tangan Azkia, mengajak gadis itu berjalan. “Okei!”
Shavian mengajak Azkia ketepian sungai besar yang ada disana, Azkia hanya terdiam, merasa terpukau dengan pemandangan disana.
Sedangkan Shavian terdiam, mengingat beberapa hal yang pernah terjadi disana.
Azkia menoleh kearah sang Ayah, “Ayah? kenapa?” Shavian hanya melirik, lalu menggeleng pelan. “Enggak papa.”
Azkia hanya mengangguk, “Ayah ayo lebih deket!” ia menarik tangan Shavian, yang ditarik hanya mengangguk, pasrah dan mengikuti Azkia.
Setelah lebih dekat, Azkia melepas pegangan tangannya. Lalu berlari kecil melihat air sungai dengan antusiasnya.
Shavian hanya menatap sambil melipatkan tangannya di dada, bayang-bayang masa lalu yang pernah terjadi disini mulai terputar.
Bahkan, bisa membayangkan bahwa Azkia tengah bermain disana bersama Azka. Shavian hanya menggelengkan kepalanya, menghilangkan halusinasi yang tampak nyata itu.
Azkia menarik-narik baju milik Shavian, “Ayah kenapa?” tanyanya, Shavian menoleh, lalu menggeleng pelan. Shavian menyamakan tingginya dengan Azkia, lalu menarik gadis kecil itu kedalam dekapannya.
“Ayah minta maaf, ayah ga benci kamu, ayah cuman belum bisa nerima kenyataan. kamu gaperlu minta maaf sampai bikin surat kayak gitu buat Ayah, Bian sama Liam.” pelukan Shavian dibalas oleh tangan kecil itu.
“Ayah gaperlu minta maaf, Azkia yang salah disini. Azkia udah rebut papa dari ayah, maafin Azkia.” Shavian mengelus surai panjang milik Azkia, “Bukan, ini bukan salah kamu. Salah ayah, maafin ayah. Ayah bakal nyoba buat nerima kehadiran kamu.”
Azkia menutup wajahnya dibahu lebar milik Shavian, ia mengangguk. “Maaf ya, ayah.”
ㅡ end